PESTA demokrasi Bangsa Indonesia melalui Pemilu 2019 baru saja usai. Berdasarkan quick count oleh beberapa lembaga survei, pasangan calon Joko Widodo dan Ma'aruf Amin unggul dari rivalnya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dengan perbadingan jumlah suara rata-rata 55 persen lawan 45 persen.
Meski hasil itu bukan hasil resmi, namun gambaran kemenangan Jokowi-Ma'aruf sudah tampak di pelupuk mata.
Seakan berulang, cerita pemilu kali ini sama halnya dengan Pemilu 2014 yang menyisakan drama. Dalam Pemilu 2014, narasi perdebatan yang terjadi adalah perbedaan hasil quick count di antara dua kubu yang berkompetisi.
Kali ini, narasi perdebatannya adalah antara hasil quick count dan real count. Tim Badan Pemenangan Nasional (BPN), melalui Prabowo, menyatakan bahwa berdasarkan real count, calon presiden nomor urut 02 itu unggul 62 persen.
Sebenarnya, problematika perbedaan dalam menanggapi hasil survei ini bukan hal baru. Hal semacam ini telah terjadi jauh sebelum kita melihatnya dalam pilpres kali ini.
Quick count atau hitung cepat mungkin istilah yang paling populer belakangan ini, sampai-sampai tak ayal diplesetkan di segala aspek hidup masyarakat.
Quick count sebetulnya menjadi metode ampuh dan dapat diandalkan dalam memantau perkembangan suara di hari pemilihan sebagai evaluasi kualitas keseluruhan dari proses pemilihan dan memproyeksikan hasil pemilihan resmi.
Hitung cepat juga dapat menjadi pusat dramatisasi dan pertaruhan tinggi di antara kubu yang berkompetisi.
Namun, dalam beberapa studi yang dilakukan oleh National Democratic Institute for International Affairs (NDI) di Amerika, quick count justru mencegah terjadinya konflik dalam pemilu dan secara signifikan membantu orang agar hak-hak politiknya dihargai.
Studi kasus pemilihan di Filipina pada 1986 dan Panama tahun 1989, quick count digunakan untuk melindungi dan membela hak-hak sipil dan politik rakyat karena adanya upaya-upaya kecurangan dalam pemilu.
Kasus pemilu Panama 1989, misalnya, Archdiocese Commission for the Coordination of Laity, sebuah organisasi Katolik, melakukan hitung cepat secara independen untuk mengalahkan Manuel Noriega, yang berusaha menutupi kekalahannya dan berupaya mengumumkan hasil palsu dalam pemilu 1989.
Contoh lain, pemilu di Bulgaria 1990, quick count memungkinkan para kompetitor dalam pemilu untuk menerima kekalahan maupun hasil yang mengejutkan karena hasilnya berbeda dengan survei opini jelang hari pemilihan sebab saat itu pemilu pertama pascaera komunis.
Partai sosialis, yang dulunya komunis, diyakini kalah dari partai oposisi gabungan (UDF), namun dalam pemilihan yang terjadi adalah sebaliknya.
Hal ini menimbulkan ketegangan dan meruaknya demonstrasi. The Bulgarian Association for Fair Elections and Civil Rights (BAFECR) kemudian melakukan quick count yang menunjukkan kekalahan secara adil pihak oposisi yang membuat demonstrasi mereda.
Hasil survei quick count pada Pilpres 2019 dari kurang lebih sembilan lembaga survei memenangkan Jokowi-Ma'aruf.