JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil quick count pemilihan legislatif (Pileg) 2019 Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan ada 30,05 persen pemilih yang golongan putih (golput). Angka golput pileg tersebut lebih besar dibandingkan golput pilpres sebanyak 19,27 persen.
"Golput pileg lebih besar dibandingkan pilpres karena pemilu yang dilakukan serentak. Karena pileg dan pilpres dilakukan bersamaan, otomatis pemilih akan mengedepankan pilpres ketimbang pilegnya," ujar peneliti LSI Rully Akbar di kantor LSI, Jakarta Timur, Kamis (18/4/2019).
Baca juga: Mereka yang Gugur Saat Menjaga dan Selenggarakan Pemilu 2019...
Faktornya, lanjut Rully, karena memilih calon presiden dan wakil presiden lebih mudah dibandingkan memilih calon legislatif dari tingkat DPR, DPD, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota. Banyak dan ragamnya pilihan caleg membuat angka golput kian tinggi.
Ia melontarkan, rasa ingin tahu dari masyarakat untuk mencari nama-nama caleg di daerah pemilihannya (dapil) juga rendah. Hal itu juga diakibatkan adanya isu-isu terkait pilpres yang mendistraksi masyarakat.
"Untuk menggali atau mencari tahu siapa calegnya pun susah karena terdistraksi isu pilpres. Inilah alasan kenapa pileg dianggap sebagai anak tiri dalam Pemilu 2019," jelasnya.
Baca juga: Komnas HAM Nilai Masyarakat Semakin Matang Berdemokrasi pada Pemilu 2019
Rully mengemukakan, banyaknya isu terkait pilpres membuat pemilih tidak fokus dalam mencari wakil rakyat di parlemen. Tak pelak, hal itu yang mengakibatkan angka golput di pileg lebih besar dibandingkan pilpres.
Untuk itu, seperti diungkapkan Rully, lebih baik pada Pemilu 2024, pileg dan pilpres harus dipisahkan guna meminimalisir angka golput pada pemilih. Hal itu tentu berkelindan dengan meningkatnya sistem demokrasi dan terpilihnya caleg-caleg yang terbaik.
Adapun hitung cepat LSI menggunakan jumlah sampel yang dipilih sebanyak 2.000 TPS dengan teknik penarikan sampel multistage random sampling. Sedangkan margin of error hasil hitung cepat ini sebesar kurang lebih 1 persen.