JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengungkapkan, ada beberapa modus kecurangan yang berpotensi terjadi pada hari pemungutan suara, Rabu (17/4/2019).
"Ada banyak modus kecurangan suara di pemilu-pemilu sebelumnya, baik pilpres, pileg, maupun pilkada," kata Jeirry melalui keterangan tertulis, Selasa (16/4/2019).
Modus tersebut, misalnya, mengganti angka hasil rekapitulasi, jumlah suara yang dihitung tak sesuai dengan jumlah pada formulir model C1.
Baca juga: TKN Jokowi-Maruf Laporkan Dugaan Kecurangan Pemilu di 7 Negara ke Bawaslu
Modus lainnya, kolom perolehan suara dan kolom lainnya pada formulir model tersebut tidak diisi sehingga dapat dimasukkan angka baru.
Jeirry menyebutkan, modus lain yang perlu diwaspadai adalah pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali, serta pemilih diberi kesempatan memilih meski tak memenuhi syarat.
Jeirry berpandangan, terdapat empat faktor yang dapat memengaruhi kerawanan suatu daerah pada Pemilu 2019, yaitu geografis, historis, penguasa dan penyelenggara.
Daerah yang rawan kecurangan dapat disebabkan kondisi geografis karena sulit dijangkau atau secara historis memiliki sejarah pemilu bermasalah.
Baca juga: Jelang Pencoblosan, KPU Diminta Fokus soal Distribusi Logistik Pemilu
Kemudian, kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat di suatu daerah turut menentukan bagaimana masyarakat dapat terpengaruh pada politik uang.
"Faktor penguasa, yakni daerah-daerah yang secara ekonomi miskin dan masyarakatnya belum begitu terdidik sehingga mudah dimobilisasi dan rawan praktik politik uang," kata Jeirry.
"Keempat, faktor penyelenggara, yakni daerah-daerah di mana dalam pemilu sebelumnya, penyelenggara sering melakukan manipulasi suara, tetapi tidak pernah dihukum, dan mereka masih menjadi penyelenggara hingga saat ini," lanjut dia.