APAKAH politik uang masih ada? Bagaimana caranya dilakukan? Aiman membuktikannya, nyata. Tidak perlu jauh-jauh, dekat dengan pusat kota. Masih di Jakarta.
Politik uang, money politics, vote buying, serangan fajar, apa pun istilahnya, marak terjadi jelang pencoblosan. Aktivitas terlarang ini terdengar sulit dibuktikan.
Para pelaku bergerak di masa tenang hingga hari-H pencoblosan. Apa yang dilakukan? Bagaimana caranya? Entahlah. Tapi yang jelas, politik uang masih kerap kita dengar.
Penelitian yang dilakukan peneliti psikologi politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, mendapatkan, keterpilihan seorang calon ditentukan oleh tiga hal: diketahui, dikenal, dan disukai.
Cara tercepat agar seorang calon mendapatkan ketiga syarat itu adalah dengan tatap muka dalam bentuk apa pun, disengaja ataupun tidak disengaja, dan memberikan bantuan.
Dengan dua cara ini, konsep diketahui, dikenal, dan disukai, akan semakin melekat pada calon.
Tapi ada cara instan untuk mendapatkan suara tanpa harus bersusah payah mengejar tiga syarat di atas.
Dalam kesempatan wawancara dengan program AIMAN, Profesor Hamdi Muluk mengungkapkan, hanya dengan politik uang seorang caleg bisa menembus kontestasi dan menjadi pemenang.
Ini masuk akal karena di antara sekian banyak jumlah caleg yang dipampang tentu hanya sedikit yang diingat. Paling banter diingat kalau tidak saudara ya tetangga.
Namun, banyak orang yang tidak mengenal siapa caleg di wilayahnya. Persoalan ini dipecahkan dengan memberikan "sesuatu" kepada para pemilih.
Tak perlu jauh bagi saya untuk menemukan praktik politik uang seperti ini. Saya hanya mengembara dalam radius sekitar 5 kilometer dari pusat Ibu Kota Jakarta dan menemukan praktik politik uang secara terang benderang.
Saya menemukan sebuah perkampungan padat. Di sana banyak dihuni oleh warga asli dan juga warga keturunan yang merupakan pendatang selama puluhan tahun bahkan lebih. Daerah itu dikenal sebagai pusat perdagangan grosir dan sentra industri mikro dan kecil rumahan.
Di tempat itu saya bertemu dengan seorang koordinator. Ia adalah seorang ibu setengah baya yang bertugas membagi-bagikan “sesuatu”.
Ia memiliki salinan lengkap daftar nama dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di sebuah tempat pemungutan suara (TPS). Nama-nama dalam TPS ini sebagian telah ia lingkari.
Saya bertanya kepada si ibu, "Apa artinya lingkaran di nama pemilih ini, Bu?"