JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai perlunya pengaturan lebih lanjut soal sanksi pidana bagi penyelenggara negara yang tak bisa mempertanggungjawabkan harta kekayaannya.
Hal itu dinilainya bisa dirancang oleh pemerintah dan DPR.
Menurut Kurnia, diskursus pemidanaan penyelenggara negara yang tidak jujur dalam pelaporan kekayaannya sudah muncul sejak keberadaan United Nations Convention Against Corruption tahun 2003.
"Itu sebenernya sudah mengatur tentang pemidanaan yang dengan isilah hukum disebut illicit enrichment, ada peningkatan harta kekayaan tidak wajar, maka harus bisa dibuktikan oleh penyelenggara negara. Jika tidak bisa dibuktikan, maka harta itu bisa dirampas oleh negara," kata Kurnia di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (14/4/2019).
Baca juga: ICW Tekankan Pentingnya Sanksi Tegas bagi Penyelenggara Negara yang Tak Urus LHKPN
Misalnya, apabila ada peningkatan jumlah kekayaan yang signifikan dan mencurigakan, maka penegak hukum bisa menyeret orang itu ke meja hijau.
"Untuk membuktikan apakah peningkatan harta kekayaan itu diperoleh secara sah atau tidak. Ini menjadi perdebatan panjang terkait tidak adanya sanksi tegas yang diatur negara," kata dia.
Namun ia memandang ada kesulitan tersendiri agar aturan ini bisa dibentuk. Ia menilai masih cukup banyak pejabat di tingkat eksekutif dan legislatif yang tidak taat dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
"Ya, jadi akan sulit sebenernya, kendalanya saat ini adalah pembentukan undang-undang itu ada di ranah eksekutif dan legislatif. Dua lembaga itu kerap kali abai, ada yang belum melaporkan LHKPN," ujarnya.
Hal ini yang dinilainya membangun pesimisme tersendiri aturan baru itu bisa diciptakan. Padahal, aturan ini sudah diterapkan di sejumlah negara dan bisa menimbulkan efek jera. Salah satunya diterapkan oleh Australia.
"Di beberapa negara sudah mengatur misalnya di Australia, ini sudah mengatur soal illicit enrichment yang beneran mempunyai efek jera terhadap penyelenggara negara yang abai maupun yang bohong ketika melampirkan LHKPN," kata dia.
"Jadi kita tidak terlalu berharap banyak (di Indonesia) karena pihak yang mengatur regulasi itu pihak yang abai juga melaporkan LHKPN. Bagaimana kita bisa optimis mereka mengstur lebih jauh sanksi yang tegas sementara mereka juga bisa dikatakan entah itu berusaha nutupin harta kekayaannya dengan alasan macem-macem sehingga mereka tidak patuh," sambungnya.
Baca juga: ICW Kritik Paradigma Lama Penyelenggara Negara dalam Pelaporan Harta Kekayaan
Menurutnya, sanksi di Indonesia masih bersifat administratif. Ia berharap kepada pimpinan berbagai instansi agar menindak tegas wajib lapor LHKPN yang tak patuh.
"Perlu ada sanksi administrasi tegas, misalnya penundaan gaji, penundaan promosi jabatan atau bahkan yang ekstrem bisa dibuat sanksi yang mengatur soal pemecatan bagi penyelenggara negara yang tidak patuh dalam laporan LHKPN setiap tahunnya," kata Kurnia.