KOMPAS.com – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan hari ini genap dua tahun menderita kerusakan mata kiri akibat penyiraman air keras oleh dua orang tidak diketahui identitasnya pada 11 April 2017.
Serangan diterima Novel saat dirinya berjalan pulang, usai menunaikan salat Subuh di Masjid Al-Ikhsan, dekat rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Kepada Time, Novel menyebut motif penyerangan yang dialaminya karena sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya.
Berbagai upaya telah ditempuh, termasuk langkah hukum untuk mengusut kejadian ini. Namun, dua tahun berlalu tak satu pun ada titik terang yang diperlihatkan kepolisian.
Identitas penyerang masih menjadi teka-teki, apalagi otak penyerangan yang keberadaannya masih merasa aman dari jangkauan aparat hukum.
Wajar jika kemudian banyak pihak, termasuk Novel sebagai korban, mencurigai banyak kejanggalan terjadi dalam pengusutan kasusnya.
Baca juga: Menolak Lupa, Peringatan 2 Tahun Kasus Penyiraman Air Keras Novel Baswedan
Berdasarkan catatatan media, berikut sejumlah kejanggalan penanganan kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan:
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, tidak ditemukan adanya sidik jari pada cangkir berisi sisa air keras yang ditemukan di lokasi penyerangan.
Sidik jari yang semestinya bisa menjadi petunjuk untuk menemukan pelaku, disebut hilang karena cangkir yang ditemukan dalam kondisi basah.
"Sidik jari memang tidak ada atau tidak ditemukan di dalam botol atau gelas yang ada," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada 31 Juli 2017, saat melakukan konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Karena basah, serbuk yang digunakan oleh kepolisian sebagai alat pengungkap, tidak dapat bekerja dengan baik.
"Saat akan di-swipe menggunakan serbuk, di situ masih basah sehingga sidik jarinya menjadi hilang dan serbuknya tidak bisa membaca sidik jarinya," ujar Tito.
Baca juga: Ini Kata Kapolri soal Sidik Jari di Cangkir Air Keras Penyerang Novel Baswedan
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono menduga pelaku menggunakan sarung tangan saat melakukan aksinya, sehingga tidak ada jejak sidik jari yang tertinggal.
"Jadi gini, itu adalah cairan H2SO4 ya, kalau kena tangan melepuh, kalau kena celana jeans itu berlubang, kira-kira apakah pelaku pakai tangan telanjang? Kami ada beberapa kemungkinan, (pelaku) bisa pakai sarung tangan," ujar Argo, di Mapolda Metro Jaya, 23 Agustus 2017.
Menanggapi hal itu, Novel yang merupakan penyidik KPK dari Polri, tidak habis pikir dengan sidik jari yang tidak ditemukan di alat bukti.
"Sidik jari, belakangan ini saya ketahui sudah tidak ada. Bukti elektronik malah hilang. Sebagai orang yang punya nalar, saya berpikir apa yang saya ketahui dari sisi yang lain digunakan untuk pembuktian, kemungkinan kedua bukti-bukti lain dihilangkan dengan sempurna," ujar Novel, 26 Januari lalu.
Novel yang mengaku pesimistis terhadap kinerja kepolisian menangani kasusnya, menyayangkan tidak adanya pemeriksaan rekaman closed circuit television (CCTV) yang sebenarnya merekam kejadian pagi itu.
"Kenapa sih tidak mau diungkap? Ini serangan tidak terjadi pada tempat tersembunyi. CCTV tidak diambil polisi, dua minggu sebelumnya ada perampokan dan polisi mengambil CCTV tersebut dan menemukan pelaku. Artinya, polisi atau penyidik Polri yang bertugas mestinya tahu ada CCTV, tapi untuk kasus saya mereka tidak mengambil," kata Novel.
Namun, di pihak lain, Argo Yuwono mengaku telah memeriksa CCTV yang ada di dekat kediaman Novel hingga 1 kilometer dari lokasi penyerangan terjadi. Setidaknya puluhan CCTV diperiksa namun wajah kedua pelaku tidak terekam dengan jelas.
Karena itu, kepolisian berinisiatif untuk mengirimkan 3 video CCTV untuk dibaca Kepolisian Australia yang memiliki kemampuan lebih dalam untuk menemukan wajah pelaku.
Dengan demikian sketsa wajah pelaku dapat dibuat dengan lebih detil sesuai keterangan yang diberikan para saksi.
Sementara 50 CCTV lain telah diamankan dan 100-an toko kimia diperiksa. Dan tetap, pelaku belum ditemukan.
Baca juga: Polri Kirim 3 Rekaman CCTV Terkait Kasus Novel ke Australia
Pada penanganan kasus-kasus besar atau yang menyedot perhatian publik, kerja tim penyidik biasanya akan diberi tenggat waktu dengan harapan kasus akan diselidiki dengan serius dan tuntas.
Namun, tidak untuk kasus Novel. Presiden Joko Widodo tidak memberikan batasan waktu tertentu pada Polri selaku penyidik untuk tuntaskan kasus.
Hal ini disampaikan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi pada 31 Juli 2017.
“Saya tidak mendengar soal apakah itu dibatasi seminggu, dua minggu. Tidak memakai ukuran itu. Bahasa yang dipakai Presiden adalah secepatnya. Kalau seminggu bisa, ya seminggu. Namanya juga secepatnya,” kata Johan.
Tepat hari ini, 2 tahun sudah Novel melihat hanya dengan sebelah mata, tetapi pelaku penyerangan dan otaknya belum juga terungkap.
Baca juga: Jokowi Tak Beri Batas Waktu Polri Tuntaskan Kasus Penyerangan Novel
Setelah upaya kepolisian tidak membuahkan hasil, berbagai pihak termasuk Novel Baswedan mendesak pemerintah untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto meminta agar tidak ada desakan.
"Enggak ada desakan ya, pemerintah itu enggak usah didesak-desak, pemerintah itu dalam melaksanakan tugasnya selalu konstruktif, selalu melakukan yang terbaik untuk masyarakat,” kata Wiranto pada 23 Februari 2018.
Hal ini memunculkan anggapan pemerintah tak dukung TGPF Novel, sebagaimana disampaikan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
"Pernyataan Wiranto jelas tidak mendukung bahkan cenderung defensif. Semestinya Wiranto mendukung demi tegaknya keadilan, dan yang penting untuk pemberantasan korupsi karena apapun juga (pemberantasan korupsi) menjadi program pemerintah," kata Boyamin, 23 Februari 2018.
Baca juga: Minta Tak Didesak, Pemerintah Terkesan Tak Dukung TGPF Novel
Akhirnya, pada 8 Januari 2019 kepolisian mengeluarkan surat tugas pembentukan tim khusus untuk mengusut kasus yang sudah bergulir lama ini.
"Bahwa benar Kapolri sudah mengeluarkan surat perintah tersebut atas tindak lanjut rekomendasi Komnas HAM atas ranah Kepolisian negara Republik Indonesia dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan," ujar Kadiv Humas Polri, Irjen Muhammad Iqbal.
Pembentukan tim ini, tak lama sebelum Debat Pilpres pertama dengan tema Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme digelar pada 13 Januari 2019.
Hal ini kemudian memunculkan dugaan pembentukan tim ini karena alasan tertentu. Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane menyebut hal ini sarat dengan kepentingan politis.
"Iya, pembentukan tim ini sarat dengan pencitraan baik untuk polisi maupun Jokowi di tahun politik. Seolah-olah itu dikerjakan, maka dibentuklah sebuah tim. Kesannya serius, tapi percayalah itu tidak akan terungkap,” kata Neta.
Baca juga: IPW Nilai Pembentukan Tim Gabungan Kasus Novel Sarat Kepentingan Politik
Namun hal itu dibantah oleh Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf. Direktur Hukum dan Advokasi TKN Ade Irfan Pulungan menampik tudingan pembentukan tim ini terkait urusan politik.
"Kami menganggap itu bukan adanya konflik kepentingan terhadap masalah politik terhadap pembentukan tim gabungan. Kami enggak punya kepentingan terhadap masalah itu, apalagi dikaitkan dengan waktu dekatnya debat capres," kata Ade.
Sumber: Kompas.com (Sandro Gatra, Fabian Januarius Kuwado, Ihsanuddin , Akhdi Martin Pratama, Robertus Belarminus, Christoforus Ristianto)