JAKARTA, KOMPAS.com - Berbicara strategi pemenangan para calon legislatif dalam Pemilihan Presiden 2019, tidak bisa lepas dari persoalan uang. Ongkos politik selama ini dianggap menjadi momok karena merupakan hal yang tak bisa dipisahkan dalam kontestasi ini.
Namun, apakah benar besarnya ongkos yang dikeluarkan berpengaruh pada potensi pemenangan para caleg?
Calon legislatif petahana dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, modal uang bukan satu-satunya. Caleg daerah pemilihan Jawa Tengah X ini mengatakan ada modal lain yang tak kalah penting.
Baca juga: Arsul Sani: Mahar Politik? Mukernas Saja Di Asrama Haji
Arsul buka-bukaan soal strategi pemenangannya dalam wawancara khusus bersama Kompas.com di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Selain modal finansial, Sekretaris Jenderal PPP itu mengatakan kunci untuk memenangkan kursi di parlemen adalah modal sosial.
Modal sosial yang dimaksud adalah sejauh apa caleg tersebut punya ikatan dengan masyarakat di dapilnya.
"Kedua hal itu saya percayai sampai hari ini sangat penting. Kita tidak bisa berasumsi kalau duit kita banyak, asal bagi-bagi duit, kita akan dapat suara banyak dan terpilih. Tidak bisa," ujar Arsul.
Baca juga: Cerita Caleg: Hoki Ace Hasan Melenggang ke Senayan dan Tantangan Politik Uang
Arsul mengatakan uang memang penting khususnya untuk pembentukan tim sukses yang disebar di semua dapil hingga mencetak alat peraga kampanye. Namun, hal itu harus tetap diimbangi dengan modal sosial yang mumpuni.
"Kalau kita tidak memiliki modal sosial sama sekali atau terlalu kecil modal sosialnya, menurut saya berat juga," kata anggota Komisi III DPR itu.
Bagi Arsul sendiri, modal sosialnya terbentuk dari latar belakang kehidupan dan keluarganya. Pekalongan yang menjadi dapilnya adalah tempat kelahirannya. Dia lahir dan besar di tempat itu.
"Saya orang dari daerah asal. Saya punya banyak teman wong dari TK sampai SMA saya sekolahnya di sana," kata dia.
Baca juga: Cerita Caleg Muda: Terjun ke 400 Titik Lebih hingga Pengakuan Tak Setor Mahar
Selain itu, Arsul yang sebelumnya berprofesi sebagai pengacara juga mengaku banyak membantu warga setempat dengan keahliannya.
Warga Pekalongan yang banyak menjadi pengusaha industri kecil membutuhkan saran mengenai hak kekayaan intelektual, merk, dan hak cipta.
Arsul mengatakan dia sering dijadikan tempat bertanya oleh warga sekitar mengenai persoalan itu. Satu hal yang tak kalah penting adalah modal sosial yang terbentuk dari nama besar ayahnya, almarhum Abdullah Fadjari.
Baca juga: Cerita Caleg Asal Jombang, Pagi Menjahit, Malam Kampanye
Ayah Arsul merupakan tokoh PPP di Jawa Tengah khususnya Pekalongan. Ayahnya juga pernah menjadi anggota DPRD dan juga merupakan tokoh Nahdlatul Ulama.
"Kalau orang tidak kenal saya karena saya lama di Jakarta, begitu saya datang ke kelompok masyarakat, saya memperkenalkan diri misal sama tokoh atau kiai, itu saya menyebut ayah saya," ujar Arsul.
"Misalnya, 'saya namanya Arsul Sani, Pak Kiai, kebetulan saya putra pertamanya dari Pak Haji Abdullah Fadjari. Mereka pasti akan jawab, 'Oh putranya Pak Abdullah Fadjari, wah dulu saya yang mengkader Bapak sampeyan, di NU saya membantu Bapaknya sampean'. Itulah modal sosial, pasti akan dibantu," tambah dia.
Baca juga: Cerita Caleg: Bermula dari Skripsi hingga Tembus Pedalaman Kalteng untuk Bertemu Warga
Pada Pileg 2009, Arsul juga pernah mencalonkan diri dari Partai Keadilan Sosial. Namun dia tidak mendapatkan kursi. Dia berpikir salah satu penyebabnya adalah modal sosial yang kurang.
Ketika itu, dia dicalonkan bukan sebagai kader partai melainkan sebagai profesional. Dia juga tidak bisa mengaitkan modal sosial tentang ayahnya yang tokoh PPP dengan pencalegan lewat PKS ini.
Selain pembentukan tim yang tidak maksimal, Arsul berpendapat moda sosial yang kurang ini jadi penyebabnya kalah.
Baca juga: Cerita Caleg: Eko Patrio dan Upayanya Populerkan Eko Hendro Purnomo
Oleh karena itu, dia sangat yakin bahwa modal sosial tak kalah penting dengan finansial. Dalam hal ini, dia berutang kepada ayahanda yang membangun modal sosialnya.
"Saya berutang jasa, berutang budi sama ayah saya. Ayah saya ketua PPP Kabupaten Pekalongan, pernah jadi anggota DPRD. Dia di kampung saja, tetapi dia juga tokoh NU dan dikenal banyak orang," ujar Arsul.
Lantas apakah politik uang dengan cari membagikan amplop masih kalah efektif dengan modal sosial ini? Menjawab itu, Arsul menilai politik uang justru tidak efektif.
"Bayangkan, yang bagi amplop kan bukan cuma kita. Caleg lain kan bagi amplop juga. Wong untuk DPRD tingkat dua saja, satu pemilih bisa terima 5 amplop. Minimal 3 amplop paling tidak dari caleg berbeda-beda," kata Arsul.
Baca juga: Cerita Caleg: Manfaatkan Wefie hingga Vlog Dekati Relawan dan Calon Pemilih
Kalau begitu, siapa caleg yang akan dipilih jika warga saja mendapatkan amplop lebih dari satu? Arsul mengaku pernah menanyakan itu kepada masyarakat.
Jawabannya beragam. Ada yang bilang akan memilih caleg yang memberi uang paling besar. Ada juga yang akan memilih mereka yang paling akhir memberikan uang.
"Tetapi itu semua hanya sedikit ternyata, 20 persen lah," kata dia.
Baca juga: Cerita Caleg Milenial Bersaing Suara dengan Para Senior di Dapil...
Sementara itu, mayoritas masyarakat memberikan jawaban berbeda. Ketika berada di bilik suara, masyaralat akan kembali memilih berdasarkan hati nurani. Mereka akan memilih caleg yang dirasa paling memiliki kedekatan emosional dengan mereka.
Baik karena kenal langsung atau pernah menerima kebaikan dari caleg tersebut.
"Pilihan mereka tetap dipengaruhi oleh faktor yang lebih dominan, yang non finansial. Apa itu? Misalnya saya punya kedekatan emosional seperti dia saudara, dia teman, dia pernah berbuat kebaikan sama saya, dia saya kenal, dia orangnya mampu dan amanah," kata Arsul.
Baca juga: Cerita Caleg: Terjun ke Wilayah Pelosok hingga Sempat Salah Kaprah
Pada akhirnya, kata Arsul, modal sosial lagi yang akan menjadi penentu. Sebab modal ini lah yang membentuk keterikatan caleg dengan masyarakat di dapilnya.
"Saya tidak ingin mengatakan modal finansial itu tidak penting. Tetapi kalau hanya modal finansial saja, itu menurut saya masih agak jauh dari jaminan akan terpilih," ujar Arsul.
"Tetap harus ada modal sosial yang membentuk hubungan emosional antara calon pemilih dengan diri kita atau partai kita paling tidak," tambah dia.