JAKARTA, KOMPAS.com - Faldo Maldini adalah salah satu anak muda yang memutuskan menjadi calon anggota legislatif (Caleg) di Pemilu 2019. Ia menjadi caleg DPR Partai Amanat Nasional (PAN) dari Kabupaten Bogor.
Mantan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom (PPI UK) ini menceritakan, alasannya maju menjadi caleg untuk meneruskan perjuangannya di bidang politik.
"Saya itu terjun ke politik dari 2015, saya gabung PAN itu di 2018, ini yang politik praktis, ya. Karena saya percaya demokrasi, kalau kita percaya demokrasi perwakilan, caranya kita harus menjadi wakil. Menjadi wakil itu enggak ada cara lain selain menjadi calon anggota legislatif," cerita Faldo kepada Kompas.com, Kamis (4/4/2019).
Baca juga: Cerita Caleg Asal Jombang, Pagi Menjahit, Malam Kampanye
Menurut politisi muda Sumatera Barat ini, menjadi caleg adalah jalan untuk memperjuangkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Dalam persiapannya, Faldo fokus pada pemenuhan syarat-syarat yang berlaku. Namun, yang paling penting baginya adalah persiapan mental. Sebab, kontestasi Pemilu 2019 membutuhkan kerja keras secara total.
"Persiapan yang sifatnya kayak pemetaan lapangan, karena yang menurut saya paling penting adalah kita harus bertarung itu total. Jadi semua lebih ke kayak hal-hal yang ini aja sih, persiapan kampanye. Kampenye di Indonesia kan cukup lama ya, 8 bulan," kata dia.
Baca juga: Cerita Caleg: Bermula dari Skripsi hingga Tembus Pedalaman Kalteng untuk Bertemu Warga
Ia mengakui persaingan di dapil pasti berat. Apalagi, Faldo merasa dirinya merupakan politisi muda sekaligus pendatang baru. Namun, itu tak lantas membuat Faldo merasa minder. Ia tetap optimistis bisa bersaing dan memenangkan kontestasi.
"Namanya kontestasi pasti ada yang kuat ada yang lemah, gitu kan. Ya tergantung kita aja, apa usaha yang kita keluarkan untuk bisa bertahan," kata dia.
Faldo menekankan, model kampanye door to door lebih ampuh untuk menarik dukungan. Dalam sehari, Faldo mengaku bisa terjun ke beberapa titik.
"(Terhitung) sampai hari ini juga udah sampai 400-an titik lah. Jadi udah banyak banget gitu kan," katanya.
Baca juga: Cerita Caleg: Eko Patrio dan Upayanya Populerkan Eko Hendro Purnomo
Di samping itu, Faldo tentu juga menggunakan media sosial, seperti Instagram dan media massa, seperti koran untuk mendukung kampanyenya. Menurut dia, kombinasi seperti itu lebih baik.
Di Twitter, ia lebih banyak melakukan pertarungan narasi atas sebuah masalah. Sementara, Instagram dan Facebook banyak digunakan untuk membagi dokumentasi kegiatan kampanyenya.
Dia juga menggunakan media sosial Youtube untuk berbagi video kampanye. Biasanya, berupa endorsement terhadap pengusaha UMKM yang ada di dapilnya.
Baca juga: Cerita Caleg: Manfaatkan Wefie hingga Vlog Dekati Relawan dan Calon Pemilih
"Tapi aku yakin yang namanya turun adalah kuncinya sih. Ya kita kalau terkenal di udara tapi enggak pernah turun ya susah. Saya masih terus turun kok, orang mungkin udah mulai istirahat, saya sih jalan terus," katanya.
Pertama kali menjadi caleg, Faldo merasa ternyata menjadi caleg merupakan hal yang berat. Di tengah kondisi persaingan yang ketat, kata Faldo, dirinya harus siap menang atau kalah.
Berkunjung ke ratusan titik, membuat dirinya terkadang mengesampingkan hal-hal yang bersifat pribadi. Salah satunya keluarga. Faldo merasa saat ini ia jauh dari keluarga.
"Ya waktu sama keluarga di rumah di sana udah away banget kan. Ya kadang-kadang politik itu melupakan hal-hal yang sifatnya pribadi," katanya.
Baca juga: Cerita Caleg Milenial Bersaing Suara dengan Para Senior di Dapil...
Namun di satu sisi, Faldo juga merasa senang bertemu banyak orang saat terjun di dapilnya. Ia merasa seperti menemukan saudara dan orang tua baru.
"Sukanya, saya bisa punya banyak saudara baru, orang tua baru, ibu baru, bapak baru, jadi ya silaturahmi lah politik kita," kata dia.
Faldo mengandalkan donasi dari para pendukungnya. Ia menerima banyak sumbangan dari berbagai pihak.
"Banyak donasi yang masuk, Rp 10 ribu misalnya dikasih orang, posko dikasih, kunjungan ke dapil dikasih duit, ya alhamdulilah banyak lah, Maksudnya, kita crowdfunding gitu kan, jadi campaign kita lebih ke movement," katanya.
Baca juga: Cerita Caleg: Terjun ke Wilayah Pelosok hingga Sempat Salah Kaprah
Menurut Faldo, sumbangan yang ia terima juga dimanfaatkan untuk menyediakan konsumsi makanan dan minuman saat bertemu warga. Ia tak menyediakan uang transportasi untuk calon pemilih.
"Jadi ya apa adanya aja sih, Mas. Yang penting kan meyakinkan publik aja. Enggak punya gudang sembako kok saya, he-he-he," seloroh Faldo.
Faldo mengakui ia sempat memiliki gambaran awal pendanaan yang dibutuhkan oleh caleg. Pada saat itu, berdasarkan kalkulasinya ongkos menjadi caleg bisa mencapai miliaran rupiah.
Baca juga: Cerita Caleg: Dengar Aspirasi Guru Honorer hingga Dibawakan Nasi Rantang
Meski demikian, Faldo tak mengeluarkan uang dengan jumlah miliaran. Menurut Faldo, pengeluaran dana kampanye tentu tergantung pada perilaku si caleg.
"Ya gimana, Mas, orang saya umur 28 tahun punya duit Rp 5 sampai 7 miliar dari mana? Ternak tuyul?," kata dia.
Selama kampanye, Faldo mengaku sudah menghabiskan uang sekitar Rp 300 juta lebih. Uang itu digunakan untuk kepentingan operasional dirinya yang sudah berkunjung ke 400 titik lebih.
Baca juga: Cerita Caleg: Strategi Petahana Jaga Jaringan dan Dukungan
"400-titik, lho bayangin. Ada orang-orang (caleg) abisnya miliaran tapi turunnya berapa kali itu. Balihonya aja yang banyak kan," kata dia.
Menurut Faldo, keperluan alat peraga kampanye (APK) dibantu partai. Faldo menjelaskan, dirinya tak terlalu mengandalkan banyak baliho dan spanduk.
"Yang kecil-kecil aja, strategi kita kasih nomor handphone di alat peraga. Jadi orang bisa kontak kita langsung, orang lain kan mana ada yang mau dihubungin kan. Ya kita direct aja karena kita rasa, kesulitan dari masyarakat ke anggota dewan itu kan aksesnya, jadi saya kasih aja langsung nomor handphonenya," katanya.
Baca juga: Cerita Caleg: Kampanye Door to Door Sambil Kampanyekan Capres
Faldo juga menegaskan, tak ada uang yang ia setorkan untuk partai terkait pencalonannya sebagai caleg.
"Kalau saya sih enggak ada ya, enggak tahu yang lain. Partai saya enggak gitu. Saya juga dapat nomor urut 2 enggak bayar apa-apa kok," ungkapnya.
Faldo tak memungkiri ongkos politik di Indonesia mahal. Ia menyayangkan masih banyak pihak yang cenderung tutup mata terhadap fenomena ini, termasuk para caleg. Padahal, kata Faldo, perlu ada perbaikan terkait biaya politik di Indonesia.
Baca juga: Cerita Johan Budi Nyaleg, Siasati Kampanye Tanpa Bagi-bagi Amplop
"Maksud aku orang-orang masih pada palsu, enggak ada yang mau mengakui ini mahal. Dan semuanya juga sok-sok enggak mau tahu, itu yang bikin saya benci. Enggak ada yang mau bahas. Makanya salah satu isu yang saya perjuangkan biaya politik itu harus fair," katanya.
Menurut Faldo, salah satu implikasi biaya politik mahal adalah menciptakan peluang tidak sehat dalam kontestasi politik. Sebab, hanya orang-orang yang memiliki harta berlebih saja yang mampu menjadi caleg.
Sementara orang lain yang seandainya berintegritas, namun dengan keterbatasan uang, menjadi tak maju sebagai caleg.
Baca juga: Pengalaman Kampanye Johan Budi, Oleh-oleh Keripik hingga Bikin Petani Ngobrol dengan Menteri
"Akhirnya enggak fair gitu kan. Orang yang punya banyak duit pasti menang, kalau yang sedikit belum tentu menang. Selama semua orang ini masih palsu dan enggak mau buka mata beresin ini ya kita begini-begini aja. Saya udah mulai agak kesel sih makanya angkat isu ini udah lama," ungkapnya.
Faldo menegaskan, salah satu yang perlu diperbaiki adalah sistem pembiayaan politik. Faldo menginginkan ada perbaikan sistem yang lebih adil dan setara. Sehingga, membuat setiap warga negara berhak maju sebagai calon pemimpin dalam kontestasi politik.
"Semua harus setara, adil enggak ada diskriminasi. Perbaikan ini jangan sekadar gimmick aja," kata dia.
Baca juga: Berapa Pengeluaran Johan Budi Sekali Turun ke Daerah Pemilihan?
Di satu sisi, ia juga menyoroti sulitnya partai dalam mencari pendanaan. Padahal, kata dia, partai dibebankan tanggung jawab besar, seperti kaderisasi, rekrutmen, persiapan kontestasi politik hingga pendidikan politik.
"Kan enggak bisa nyari duit, ini kan gila. Ya emang ini yayasan nih partai? Enggak kan. Jadinya saya kalau orang ketangkep korupsi gitu ya di satu sisi saya melihatmya (sistem) kita enggak fair, ya jadi caleg aja ada yang butuh miliaran, ya kan," kata dia.
"Ya gimana caranya? Atau misalnya di beberapa negara anggota dewannya enggak digaji gitu kan, tapi boleh bisnis, nah kan enak kalau gitu. Jadi harus ada formulasi yang setara. Kalau sekarang ampun dah," sambung Faldo.