JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh dalam Rapat Paripurna ke 15 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2018-2019, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/3/2019).
RUU tersebut merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang digagas perubahannya pada 2016 lalu.
"Melalui perbaikan tata kelola pemerintahan dan penyelenggaraan ibadah haji dan umroh, maka kita mengusulkan ada perubahan beberapa hal penting," ujar Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong saat membacakan laporan di depan seluruh peserta rapat paripurna.
Baca juga: Ibadah Haji Indonesia, Pergerakan Masyarakat Sipil Terbesar yang Tertata
Menurut Ali, ada 12 poin penting yang kini diatur dalam RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh.
Mulai dari ketentuan mengenai prioritas pemberangkatan bagi jemaah haji yang usianya paling rendah 65 tahun, penyidikan tentang adanya dugaan tidak pidana dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umroh hingga pemberian sanksi bagi penyelenggara perjalanan umroh dan haji khusus yang melakukan penipuan.
Berikut 12 poin penting tersebut:
1. Prioritas pemberangkatan bagi jemaah haji yang usianya paling rendah 65 tahun, mendapatkan priotitas utama untuk keberangkatan.
2. Perlindungan dan kemudahan mendapatkan pelayanan khusus bagi jemaah haji penyandang disabilitas.
3. Hak jemaah haji dalam hal kursi keberangkatan tidak hilang. Sebab adanya aturan pelimpahan kursi keberangkatan bagi jemaah haji yang telah ditetapkan, berhak melunasi DP pada tahun berjalan, kepada suami, istri, ayah, ibu, anak kandung atau saudara kandung yang ditunjuk dan atau disepakati secara tertulis oleh keluarga dengan alasan meninggal dunia atau sakit permanen.
4. Pelimpahan kursi jemaah haji dalam daftar tunggu atau waiting list yang meninggal dunia atau sakit permanen kepada suami, istri, ayah, ibu, anak kandung atau saudra kandung yang ditunjuk dan atau disepakati secara tertulis oleh keluarga yang bersangkutan.
5. Jaminan perlindungan bagi jemaah haji dan umroh sehingga terhindar dari prbuatan melawan hukum baik penelantaran atau penipuan dari penyelenggara ibadah umroh atau ibadah haji khusus.
6. Kepastian hukum dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan umroh berupa wewenang kepada Menteri Agama untuk membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan dan penindakan permasalahan penyelenggaran ibadah haji dan umroh.
7. Adanya pengaturan tentang penyidik pegawai negeri sipil guna melakukan penyidikan tentang adanya dugaan tindak pidana yang menyangkut penyelenggaraan ibadah haji dan umroh.
8. Jaminan kepastian hukum bagi penyelenggaraan perjalanan ibadah umroh, penyelenggaraan ibadah haji khusus dan kelompok bimbingan ibadah haji dan umroh dalam hal perizinan yang bersifat tetap dengan mekanisme pengawasan melalui akreditasi dan pemberian sanksi administratif.
9. Adanya pengaturan yang memberikan kemudahan pengurusan pengembalian biaya bagi jemaah haji yang meninggal dunia, membatalkan keberangkatannya atau dibatalkan keberangkatannya.
Baca juga: Setelah 3 Tahun Dibahas, DPR Sahkan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
10. Sistem pengawasan yang komprehensif berupa keharusan penyelenggara umroh untuk memiliki kemampuan manajerial, teknis kompetensi, personalia dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan ibadah umroh. Dibuktikan dengan jaminan bank berupa bank garansi atau deposito atas nama biro perjalanan wisata.
11. Pengaturan pelayanan akomodasi dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mendukung kualitas pelayanan jemaah haji dan umroh.
12. Adanya pemberian sanksi bagi penyelenggara perjalanan umroh dan haji khusus yang tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik, berupa sanksi administratif hingga sanksi pidana. Hal ini untuk memastikan pemberian pelayanan keberangkatan dan kepulangan jemaah haji.