"BILA Anda ingin memerdekakan sebuah masyarakat," ujar Wael Ghonim, "yang Anda butuhkan adalah internet."
Sewaktu Ghonim mencetuskan kata-kata ini pada tahun 2011, optimismenya memang beralasan. Mesir berada di ambang revolusi yang akan menggulingkan pemerintahan otoriter Mubarak.
Berkat keberadaan media sosial, rakyat dapat menjumpai kelaliman pemerintahnya dan bergerak bersama menuntut perubahan.
Namun, tak butuh waktu lama sampai dengan Ghonim memupuskan harapannya. Ghonim, yang peranannya sendiri dalam memobilisasi rakyat melalui jejaring Facebook dianggap vital, terkoyak menyaksikan bagaimana media sosial memecah-belah kekuatan rakyat yang seharusnya mengawal demokratisasi negaranya.
Ujaran kebencian, provokasi mengadu domba, berita palsu menguasai ruang-ruang media sosial dan memecah-belah kekuatan rakyat, membunuh harapan demokratisasi yang sebelumnya sudah rapuh karena perbedaan tajam di masyarakat.
Beberapa tahun setelahnya, kekecewaan serupa mendera masyarakat Amerika Serikat. Banyak orang tersentak dengan kemenangan sosok Donald Trump yang, bagi mereka, sama sekali tak pantas menyandang jabatan presiden.
Facebook, menurut sebagian orang, tak bisa menampik tanggung jawab. Dari data yang diperoleh perusahaan pemantau jejaring sosial, Buzzsumo, klaim ini berdasar.
Dari 16 juta respons yang diperoleh 20 berita teratas perihal pemilu di Facebook, 8,7 juta respons tertuju kepada berita palsu seperti "Paus Francis mendukung Trump" atau "Hillary terungkap Wikileaks menjual senjata ke ISIS."
Sebagian besar berita tersebut melejitkan citra Trump dan mencederai citra Hillary. Paus Fransiskus ketika itu bahkan angkat bicara dan mengutuk berita palsu.
Secara spesifik, Paus tak mengomentari Facebook ataupun media sosial. Namun, komentarnya tak bisa dilepaskan dari kepelikan yang menyeruak akibat keberadaan media baru ini. Peran besar internet dan dunia digital memang tak terelakan lagi.
Bahkan Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, pada laporan 16 Mei 2011, menyatakan bahwa internet menjadi instrumen paling kuat dalam abad ke-21 untuk meningkatkan transparansi dalam mengawasi pemerintahan, memberi akses pada informasi, dan juga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang demokratis.
Lebih lanjut lagi, internet bukan hanya memampukan seseorang untuk menggunakan hak untuk berpendapat secara bebas, tetapi juga menyuarakan hak asasi manusia dan mendorong kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Lebih elaboratif dalam laporan 4 September 2013, Frank La Rue menulis mengenai peran internet untuk memenuhi hak atas kebenaran.
Ia merefleksikan hal tersebut dari sekian banyak hal yang selama ini ditutup-tutupi pemerintah di banyak negara. Negara dengan sengaja membatasi hak warga untuk mendapatkan kebenaran atas sejumlah peristiwa nasional yang terjadi.
Internet dapat menjadi instrumen agar warga bisa mendapat hak ekonomi, sosial, budaya sepenuhnya lewat transparansi pemerintahan dan dibukanya partisipasi warga dalam menjalankan pemerintahan yang demokratis.