JAKARTA, KOMPAS.com — Harian Kompas kembali mengeluarkan hasil survei terbaru terkait elektabilitas pasangan capres dan cawapres yang bertarung pada Pemilihan Presiden 2019.
Hasil survei dipublikasikan pada Rabu (20/3/2019).
Survei elektabilitas Litbang Kompas selalu ditunggu-tunggu karena dipercaya memiliki tingkat keakuratan yang tinggi.
Pada Pemilihan Presiden 2014, Litbang Kompas merilis hasil survei elektabilitas capres cawapres saat itu, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Saat itu, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Prabowo-Hatta berada pada kisaran 43-47 persen.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Elektabilitas Jokowi-Maruf 49,2 Persen, Prabowo-Sandiaga 37,4 Persen
Sementara elektabilitas Jokowi-Kalla berada pada kisaran 52-56 persen.
Perolehan suara Pilpres 2014 yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan 46,85 persen suara, sementara Jokowi-Kalla 53,15 persen.
General Manager Litbang Kompas Harianto Santoso seperti dikutip dari Kompas.id, Rabu (20/3/2019), mengatakan, survei yang dilakukan Kompas tunduk pada ilmu statistik.
"Ini bukan menunjukkan penyelenggara surveinya yang hebat, melainkan karena penyelenggara survei, dalam hal ini Kompas, tunduk pada ilmu statistik," ujar Harianto.
Dari 2007 hingga jelang Pilpres 2019 ini, Litbang Kompas telah melakukan 15 kali survei elektabilitas.
Lantas, bagaimana proses dan cara kerja Litbang Kompas dalam melakukan survei?
Kisah mengenai kerja yang di Litbang Kompas diceritakan Manajer Database Litbang Kompas Ignatius Kristanto.
Persiapan survei elektabilitas terbaru pada 22 Februari-5 Maret 2019 telah dilakukan sejak Januari 2019.
Baca juga: Penyebab Elektabilitas Jokowi-Maruf Turun Menurut Litbang Kompas
Logistik, kuesioner, dan perekrutan tenaga survei adalah beberapa persiapan yang dilakukan.
"Persiapan yang matang dan patuh kepada ilmu statistik merupakan hal yang selalu kami pegang dalam melakukan survei," ujar Kristianto.
Litbang Kompas merekrut 250 tenaga survei dan memberikan mereka upah selama masa bekerja.
Mereka yang direkrut sebagai tenaga survei adalah mahasiswa semester IV ke atas dari perguruan tinggi negeri ataupun swasta.
Sebelum terjun ke lapangan, para mahasiswa ini akan mendapatkan pelatihan komprehensif dari Litbang Kompas.
Seorang tenaga survei mendapatkan tugas mewawancarai delapan responden.
Survei terbaru melibatkan 2.000 responden dari desa-desa yang tersebar di 34 provinsi Indonesia. Dari satu desa, dipilih acak sebanyak empat responden.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Elektabilitas Jokowi-Maruf Turun 3,4 Persen, Prabowo-Sandi Naik 4,7 Persen
Contohnya, di provinsi A terdapat 5 persen dari total DPT. Maka, di provinsi itu akan dicari responden sebanyak 5 persen dari 2.000 responden yang ditetapkan Litbang Kompas.
Dari tingkat provinsi, papar Kristianto, pencarian responden akan dipersempit ke tingkat kabupaten/kota, kelurahan, hingga RT.
Pada tingkat kelurahan, Litbang Kompas memilih acak sebanyak dua RT, lalu Litbang Kompas meminta izin mendata seluruh kartu keluarga (KK) di sana.
Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Jokowi Unggul di Jawa, Prabowo di Sumatera
Setelah memperoleh data KK, Litbang Kompas akan memilih acak lagi sebanyak empat orang dari dua keluarga.
Dari masing-masing keluarga itu, akan dipilih satu laki-laki dan satu perempuan yang sudah berusia 17 tahun ke atas.
"Apabila dalam pemilihan secara acak itu keluar nama ibu, si ibu lagi ke ladang atau ke pasar, ya tenaga survei kami harus menunggu dan mewawancarai ibu itu," ujar Kristianto.
Setelah berhasil menemui responden, tenaga survei meminta responden itu untuk menjawab 150 poin pertanyaan terkait pemilu.
Jenis pertanyaan bervariasi, mulai dari pernyataan tertutup, terbuka, semitertutup dan semiterbuka. Proses wawancara biasanya memakan waktu 30-40 menit.
Selain itu, si responden akan melakukan simulasi pemungutan suara. Responden diminta memilih salah satu pasangan calon. Hasilnya akan dimasukkan ke dalam amplop yang disegel.
Baca juga: Elektabilitas Prabowo-Sandiaga Naik, Ini Tiga Penyebabnya Menurut Litbang Kompas
Simulasi pencoblosan ini dilakukan karena pertanyaan seputar pilihan capres-cawapres termasuk pertanyaan sensitif.
Dengan simulasi itu, tingkat akurasi jawaban meningkat dibandingkan tanpa simulasi.
Untuk mengecek kinerja tenaga survei dan menjaga kualitas jawaban responden, Litbang Kompas bakal menghubungi responden kembali untuk memastikan penyurvei benar-benar melakukan wawancara.
"Jika berbohong, hasil wawancara dengan responden itu akan kami hapus dan tidak kami pakai. Jadi hasil survei harus betul-betul mencerminkan data di lapangan," ujar Kristianto.
Setelah itu, seluruh data hasil survei dikumpulkan serta diolah oleh Litbang Kompas untuk kemudian dipublikasikan.
Baca selengkapnya di Kompas.id, "Di Balik Survei Litbang Kompas".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.