KOMPAS.com – Calon wakil presiden nomor urut 01, Ma’ruf Amin, mengklaim bahwa angka stunting turun 7 persen di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Pernyataan itu disampaikan Ma'ruf dalam debat ketiga Pilpres 2019 saat menanggapi pertanyaan pesaingnya dalam pilpres, Sandiaga Uno.
“Dengan KIA, yaitu Kesehatan Ibu dan Anak, terutama untuk mencegah terjadinya stunting yang oleh Pemerintah Jokowi-JK telah diturunkan sampai 7 persen. Kami berjanji dalam 5 tahun yang akan datang sampai 10 persen sehingga sampai pada titik 20 persen, minimal,” kata Ma’ruf.
Namun, benarkah angka yang disampaikan mantan Ketua MUI itu?
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi balita yang mengalami stunting mengalami penurunan sebanyak 6,4 persen sejak 2013.
Pada 2013 angka stunting berada di tingkat 37,2 persen. Sementara pada 2018 angka tersebut turun menjadi 30,8 persen.
Namun, penurunan itu tidak sepenuhnya merupakan capaian pemerintahan Jokowi-JK, karena selama 2013-Oktober 2014 pemerintahan masih ada di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam penurunan stunting sebanyak 6,4 persen tersebut, terdapat andil dari pemerintahan sebelumnya, bukan hanya hasil kerja Jokowi-JK.
Akan tetapi, data Riskesdas ini hanya menunjukkan data 5 tahunan tanpa adanya keterangan data per tahun. Sehingga, sulit untuk mendapatkan data perkembangan spesifik dari tahun ke tahunnya, terutama saat Jokowi-JK memimpin.
Adapun, jika kita melihat data dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Pemantauan Status Gizi (PSG) menemukan data bahwa prevalensi balita pendek di Indonesia mengalami naik-turun. Berikut datanya:
2015: 29 persen
2016: 27,5 persen
2017: 29,6 persen
Dalam data ini, angka stunting pada 2014 tidak diketahui jumlahnya.
Namun, data survei PSG ini tidak bisa disandingkan dengan data Riskesdas yang digunakan sebagai acuan jumlah angka stunting di Indonesia. Adapun, menurut data Riskesdas:
2013: 37,2 persen
2018: 30,8 persen
Baca juga: CEK FAKTA: Ma’ruf Sebut Stunting Turun 7 Persen di Era Jokowi-JK
Menurut Wakil Sekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Mouhammad Bigwanto data PSG dan Riskesdas memang tidak bisa disandingkan atau dijadikan data pembanding.
Sebab, terdapat banyak perbedaan metodologis dalam data Riskesdas dan PSG.
"Cara pengambilan sampel, jumlah sampel, dan karakteristik sampelnya (PSG) jauh berbeda dengan Riskesdas, jadi tidak bisa dibandingkan," kata Bigwanto saat dihubungi Senin (18/3/2019) siang.
Jika PSG menggunakan sampel rumah tangga yang terdapat balita atau ibu hamil, Riskesdas tidak menerapkan hal yang sama.
"Kalau Riskesdas sampling frame-nya rumah tangga secara keseluruhan (tidak hanya yang punya balita)," ucap Bigwanto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.