JAKARTA, KOMPAS.com - Sebulan menjelang pemungutan suara, situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) diserang para peretas. Mereka meretas situs KPU menggunakan Internet Protocol (IP) Address dari luar negeri.
Karenanya, muncul dugaan dan desas-desus bahwa pemilu Indonesia diintervensi asing melalui serangan peretas yang menggunakan IP Address yang beralamat di luar negeri.
China dan Rusia menjadi dua negara yang kerap disebut-disebut lantaran para peretas juga menggunakan IP Address dari sana.
Desas-desus Peretas dari China dan Rusia
Dunia maya pun ramai dengan pemberitaan adanya peretas dari China dan Rusia yang menyerang situs KPU. Ketua KPU Arief Budiman membenarkan adanya peretasan situs KPU. Arief mengatakan peretas menggunakan IP Address dari berbagai negara termasuk China dan Rusia.
Namun ia membantah pemberitaan yang menulis bahwa situs KPU diretas para peretas dari China dan Rusia. Sebab, bisa saja IP Address dari luar negeri digunakan oleh peretas di Indonesia.
Sebaliknya, bisa pula IP Address dari Indonesia digunakan para peretas dari luar negeri. Kedua cara tersebut digunakan untuk menyamarkan lokasi peretas.
"Bisa saja IP Address-nya dari luar negeri. Tapi pelakunya ya orang-orang kita juga. Orang Indonesia juga. Tapi bisa juga menggunakan IP Adress Indonesia tapi orangnya dari luar. Bisa juga. Kalau kemarin ada yang nulis hacker dari China dan Rusia, enggak (begitu)," papar Arief.
Namun ia memastikan KPU bisa menangani serangan para peretas lewat koordinasi dengan sejumlah pihak seperti Badan Intelijen Negara, Polri, dan Badan Sandi dan Siber Negara.
"Sampai hari ini bisa kami selesaikan semua. Ada yang sekadar di-facing saja, ada yang sampai mencoba mau masuk ke dalam sistem induk kami. Tapi semua sudah bisa kami atasi," lanjut Arief.
Tak Ganggu Rekapitulasi Suara
Arief pun memastikan serangan peretas ke situs KPU tidak mengganggu proses rekapitulasi suara. Sebab, proses rekapitulasi suara masih menggunakan sistem manual. Di Indonesia, rekapitulasi suara dilakukan secara berjenjang, mulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), kelurahan, kecamatan, kabupaten dan kota, provinsi, hingga level nasional.
Rekapitulasi tersebut dicatat dalam dokumen berita acara tertulis di kertas yang akan terus dibawa dan dihitung di masing-masing jenjang.
"Hasil resmi pemilu itu ditetapkan berdasarkan berita acara manual yang dilakukan secara berjenjang. Mulai dari tingkat TPS, kecamatan, kabupaten kota, provinsi, sampai direkap di tingkat nasional," kata Arief di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Baca juga: Ini yang Disasar Peretas Situs KPU
"Jadi, andaikan sistem (IT) kami enggak digunakan pun, atau sistem kami down sekalipun, pemilunya enggak terganggu. Karena rekap itu dilakukan secara manual," lanjut Arief.
Karena itu, Arief menegaskan sistem teknologi informasi (IT) yamg diretas tak berkaitan dengan rekapitulasi suara. Sistem tersebut digunakan KPU untuk mempublikasi proses dan hasil rekapitulasi suara agar lebih cepat dan transparan.
"Jadi untuk menyediakan proses dan hasil, untuk memberitahukan proses dan hasil pemilu secara cepat kepada masyarakat. Jadi, itu hanya sebagai sarana untuk bagian dari prinsip yang selalu kami kembangkan," kata Arief.
"Dan orang tahu semua. Itu lho di website KPU untuk TPS nomor sekian hasilnya sekian, kok ini berubah. Kok di berita acaranya sekian. Kan orang bisa ikut ngontrol kalau gitu," lanjut Arief.
Disinformasi dan Kekacauan Publikasi Rekapitulasi Suara
Lantaran tak bisa mengganggu rekapitulasi suara, Arief menduga para peretas menyerang situs KPU untuk mengacaukan informasi selama proses rekapitulasi suara berlangsung. Hal itu pernah terjadi pada pada rekapitulasi suara di Pilkada Serentak 2018.
Dengan demikian nantinya akan terjadi kericuhan lantaran muncul anggapan seolah KPU tidak bekerja secara netral.
"Anda kalau ingat pilkada 2018 kemarin kan kami menampilkan semua hasil penghitungan di pilkada. Tapi, kan kemudian ada serangan yang sering juga kan. Misalnya kami tampilkan si A dapat 10 persen si B dapat 20 persen, ini kan masih penghitungan masih berjalan," papar Arief di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, Kamis (14/3/2019).
"Lalu karena si B dapat lebih besar di-capture sama pendukungnya, klik disebarin, oh sudah menang. Padahal ini kan masih berjalan. Lalu hacker (peretas) datang, ganti si A menang si B kalah, di-capture lagi disebarin. Itu kan mengacaukan informasi untuk masyarakat," lanjut dia.
Ia menyatakan, KPU sudah memiliki pengalaman menghadapi upaya disinformasi proses dan hasil rekapitulasi suara.
Pada Pilkada 2018, saat mengalami serangan peretas, KPU akhirnya menutup sementara situs yang menayangkan proses dan hasil rekapitulasi suara.
Dengan demikian, KPU menunggu hasil rekapitulasi suara secara manual dari tingkat tempat pemungutan suara (TPS) hingga level kabupaten dan kota serta provinsi selesai. Setelah proses itu tuntas, KPU kembali menayangkan hasil rekapitulasi final.
"Insya Allah (sistem teknologi informasi sekarang) lebih baik. Kami terus memperbaiki diri. Dan kemudian sistem kami diperbaiki bukan hanya dari hardwarenya, softwarenya juga kami perbaiki," lanjut Arief.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.