KOMPAS.com - Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar merupakan salah satu kontroversi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Bermodalkan Supersemar, Soeharto yang saat itu menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk memulihkan keadaan pasca-Gerakan 30 September yang selama ini dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia.
Namun, secara perlahan Soeharto melakukan sejumlah langkah strategis yang membuat dia mengambil alih kepemimpinan nasional.
Adapun, kontroversi terbesar adalah saat ini tidak ada yang tahu di mana keberadaan Supersemar. Salinan terkait kepemimpinan nasional itu hingga saat ini tak terlacak, meskipun peristiwa penyerahan Supersemar dapat dibilang memiliki bukti sejarah yang kuat.
Setelah 53 tahun surat mandat itu dirilis, berikut sejumlah fakta terkait Supersemar. Kompas.com berupaya menghadirkannya dalam bentuk pertanyaan, dengan harapan tetap memicu upaya pengungkapan misteri yang menyelubunginya.
Supersemar tak hanya akronim dari Surat Perintah 11 Maret 1966. Surat ini dapat dibilang sebagai "mandat" yang diberikan Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dalam naskah Supersemar, disebut bahwa Soeharto dapat mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan ketika itu. Setelah kondisi pulih, Soekarno berharap mandat itu dikembalikan.
Namun, Soeharto kemudian melakukan sejumlah langkah strategis yang dianggap merugikan Soekarno. Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, langkah itu antara lain menangkap 15 menteri loyalis Soekarno.
Selain itu, Soeharto tanpa persetujuan Soekarno juga melakukan pembubaran PKI yang kemudian dianggap sebagai organisasi terlarang. The Smiling General itu juga membubarkan Tjakrabirawa selaku pasukan pengaman presiden, serta berupaya mengontrol media.
Baca juga: Aksi Soeharto Berbekal Supersemar, dari Bubarkan PKI hingga Kontrol Media
Presiden Soekarno membantah bahwa Supersemar adalah alat untuk transfer kekuasaan kepada Soeharto. Hal ini disampaikan Soekarno dalam pidato yang disampaikan saat peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1966.
"Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan sebutan "Jasmerah".
Sejarawan Asvi Warman Adam pun menilai bahwa Supersemar menjadi alat bagi Soeharto untuk melakukan "kudeta merangkak".
Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta. Dikutip dari arsip Harian Kompas, Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk "membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan".
"Saya, kata Presiden Soeharto, tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," demikian kutipan di Harian Kompas terbitan 11 Maret 1971.
Baca juga: Supersemar, Surat Kuasa atau Alat Kudeta?