Sorenya, tiga jenderal menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor, yaitu Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen M Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud. Saat itulah Soekarno disebut memberikan mandat Supersemar untuk diberikan kepada Soeharto.
Meski demikian, ada juga pernyataan yang menyebut hadirnya jenderal keempat, yaitu Maraden Panggabean.
Ajudan Soekarno, Soekardjo Wilardjito, mengungkap bahwa sang Presiden dalam kondisi tertekan saat meneken surat itu karena todongan pistol FN 46 yang dilakukan Panggabean.
Baca juga: Benarkah Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar?
Soekardjo pun dengan cepat mencabut pistolnya melihat ada jenderal yang bergerak dengan senjata.
Menurut Soekardjo, karena tak ingin ada pertumpahan darah Soekarno akhirnya bersedia menandatangani Supersemar. Soekarno berharap kelak mandat itu akan dikembalikan kepadanya.
Namun, pada 1998 Maraden membantah cerita itu dan menuduh Soekardjo bohong. Bantahan juga disampaikan M Jusuf dan Soebandrio yang ada di lokasi.
Soeharto merupakan penerima mandat Supersemar yang membuat karier kepemimpinannya melesat. Saat 11 Maret 1966 itu, Soeharto merupakan Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Namun, Soeharto tidak mengikuti rapat di Istana Merdeka karena sakit.
Dalam diorama yang ada di Monumen Nasional, digambarkan bahwa Soeharto terbaring di ranjang. Di samping ranjang itu terlihat tiga jenderal, Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen M Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud, yang dinarasikan menyerahkan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto.
Baca juga: Kisah di Balik Dua Versi Diorama Supersemar di Monas
Terlepas dari sakit yang dideritanya, Soeharto bergerak cepat setelah menerima Supersemar. Langkah pertama yang diambil Soeharto adalah membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. PKI kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Soeharto tak berhenti sampai di situ sebab pada 18 Maret 1966 dia menangkap 15 menteri yang menjadi loyalis Soekarno.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 22 Maret 1966, Soeharto mulai melakukan kontrol terhadap pers. Setiap pemberitaan mengenai berita politik dari RRI dan TVRI harus seizin dari dinas penerangan Angkatan Darat.
Angkatan Darat pun harus mengetahui berita apa yang akan ditulis oleh koran atau media massa lain. Mereka punya hak untuk melarang sebuah berita diterbitkan apabila dianggap membahayakan stabilitas negara.
Jika melihat seluruh rangkaian tindakan yang dilakukan selama Maret 1966, Asvi Warman Adam menyimpulkan bahwa ada indikasi Soeharto melakukan "kudeta merangkak".
Baca juga: Aksi Soeharto Berbekal Supersemar, dari Bubarkan PKI hingga Kontrol Media