KOMPAS.com — Istana Kepresidenan Bogor menjadi saksi bersejarah penting bagi kepemimpinan presiden pertama RI Soekarno. Pada 11 Maret 1966, Soekarno disebut memberikan "surat sakti" kepada Soeharto yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.
Surat itu berisi persetujuan Soekarno agar Soeharto mengambil langkah yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan setelah Gerakan 30 September 1965 yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia.
Bermodalkan Supersemar, Soeharto tidak hanya memulihkan keamanan, tetapi juga secara perlahan mengambil alih kepemimpinan nasional.
Soeharto kemudian ditunjuk sebagai pejabat presiden setahun kemudian, Maret 1967, berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967.
Akan tetapi, Presiden Soekarno membantah memberikan Supersemar sebagai alat untuk transfer kekuasaan kepada Letjen Soeharto yang ketika itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.
Hal ini disampaikan Soekarno dalam pidato yang disampaikan saat peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1966.
"Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan sebutan "Jasmerah".
Sejarawan Asvi Warman Adam pun menilai bahwa Supersemar menjadi alat bagi Soeharto untuk melakukan "kudeta merangkak".
Baca juga: Supersemar, Surat Kuasa atau Alat Kudeta?
Lalu siapa saja tokoh yang terlibat dalam Supersemar dan apa saja perannya? Berikut penjelasannya:
Semua menteri dan kepala lembaga diwajibkan hadir dalam rapat paripurna pertama Kabinet 100 Menteri. Ini merupakan kabinet hasil reshuffle terhadap Kabinet Dwikora yang didemo mahasiswa.
Dikutip dari buku Presiden (daripada) Soeharto (2016), Soekarno minta para menteri datang sejak pagi untuk menghindari unjuk rasa. Setelah rapat dimulai sejak pukul 09.00, masih ada beberapa menteri yang terlambat karena terkendala aksi mahasiswa.
Tak lama setelah rapat kabinet berjalan, Komandan Tjakrabirawa selaku pengawal presiden, Brigjen Sabur, mengirim nota kepada Brigjen Amirmachmud yang menyebut ada pasukan liar di luar Istana. Saat membaca nota itu, Soekarno disebut panik.
Proklamator itu meninggalkan rapat yang belum ditutupnya. Dia kemudian menyerahkan pimpinan rapat kepada Johannes Leimena yang saat itu menjabat Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
Soekarno kemudian naik helikopter menuju Istana Bogor untuk mendapatkan pengamanan.
Baca juga: Jelang Lahirnya Supersemar, Soekarno Ketakutan Istana Dikepung Pasukan Liar
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.