"Isu dari mana (uangnya) itu memang perlu dijawab. Apakah akan diambil dari pengetatan dana Badan dan Kementerian, pajak, atau nambah utang sekalipun itu enggak soal selama itu untuk kebaikan rakyat miskin," ujarnya.
"Selama itu untuk kebaikan anak-anak muda kita supaya bisa memilki pekerjaan. Jangan sampai sirkulasi keuangan ini hanya berkutat pada kelompok-kelompok menengah tertentu," tambah Adi.
Baca juga: Tak Semua Pengangguran Bisa Dapat Kartu Pra Kerja, Ini Penjelasan Moeldoko
Selama ini masyarakat juga tidak pernah membayangkan pembangunan infrastruktur yang jor-joran itu ada uangnya, bahkan dananya dari mana enggak jelas, tapi dalam praktiknya infrastruktur jelas.
"Banyak lubang untuk mengeluarkan dana. Misalnya, dari pengetatan dana pengeluaran kementerian. Artinya semua kementerian itu dipaksa mengencangkan ikat pinggang biar dananya dialokasikan untuk infrastruktur. Itu kan salah satu upaya. Dulu infrastruktur juga dicibir dianggap gak realistis, duitnya gak ada. Buktinya ada. Setelah dana-dana BUMN, dana pajak juga diambil," tuturnya.
Adi mengatakan, cita-cita dari program ini besar agar anak-anak muda tidak jadi pengangguran dan lulusan-lulusan SMA dan SMK punya "skill" di bidang usaha dan pekerjaan.
"Apa itu salah? Semua diawali dari ide," ucapnya.
Adi tidak menampik jika program ini akan memiliki insentif elektoral untuk Jokowi, sekaligus mengesankan kubu 02 panik dengan kartu prakerja ini.
"Tentu (berpengaruh). Karena ini program populis dan visi misi Jokowi dari tiga kartu ini lebih detail. Artinya ketika ditanya bagaimana ibu-ibu bisa mengakses barang mudah, jawabannya ya sederhana dikasih kartu sembako murah, ketika ditanya anak muda bisa kerja, dikasih keterampilan lalu disubsidi," ujar Adi.
Menurut Adi, hal itu lebih kongkret daripada jawaban kubu Prabowo-Sandi yang selalu bersifat umum dengan jawaban 100 hari kerja.
"Prabowo sebenarnya semangatnya sama ingin membantu rakyat, tapi jawabannya semua akan diselesaikan dalam program 100 hari. Tidak ada basis argumentasi yang detail. Prabowo selalu berlindung di bawah narasi besar, tapi gagasan yang menyentuh bumi enggak ada. Lebih banyak retorika besarnya, tapi gagasan operasionalnya kering," kata Adi Prayitno.