KOMPAS.com - "The Smiling General". Julukan itu tertuju kepada Presiden kedua Republik Indonesia (RI), Soeharto, berdasarkan buku biografinya yang ditulis warga Jerman, OG Roeder.
Soeharto dilahirkan pada 8 Juni 1821 di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Bantul, Yogyakarta dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Ayahnya merupakan seorang ulu-ulu atau petugas pengatur air dan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa.
Karier kepemimpinannya muncul pasca-meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dengan mengaku berpedoman pada Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar yang diembannya, dia mulai memerintah Indonesia pada 12 Maret 1967.
Tak ada yang menyangka, Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun sebagai presiden. Soeharto bahkan dipilih sebagai presiden oleh MPR hasil enam kali pemilu, yaitu pada 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, hingga 1997.
Hari ini 21 tahun silam, tepatnya pada 8 Maret 1998, Soeharto mengumumkan bahwa dia bersedia dicalonkan kembali menjadi presiden untuk periode 1998-2003.
Krisis ekonomi yang sedang dialami Indonesia tak mengurangi langkah Soeharto untuk menolak tawaran dari beberapa partai pengusungnya. Bahkan, protes terhadap rencana pemilihan Soeharto sebagai presiden juga tidak dipedulikannya.
Jenderal bintang lima ini menyatakan, dengan semangat kejuangan dan Sapta Marga, jangankan harta, jiwa pun akan dipasrahkan untuk pengabdian kepada bangsa dan negara.
Baca juga: 21 Mei 1998, Saat Soeharto Dijatuhkan Gerakan Reformasi...
Soeharto mengumumkan bersedia untuk kembali menjadi presiden di sela berlangsungnya Sidang Umum MPR pada Maret 1998. Ini merupakan sidang umum hasil Pemilu 1997 yang dimenangkan Golkar.
Sebelumnya, beberapa pimpinan fraksi di MPR menemui Presiden Soeharto di kediamannya untuk membahasa pencalonan dirinya.
Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 8 Maret 1998, pimpinan fraksi MPR yang terdiri dari Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP), Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI), Fraksi Utusan Daerah (F-UD), dan Fraksi ABRI (F-ABRI).
Ketika itu pimpinan kelima fraksi MPR secara jelas berkonsultasi dan meminta Soeharto untuk bersedia dicalonkan menjadi presiden lagi.
Konsultasi untuk pencalonan presiden dilakukan secara berturut-turut antara pukul 14.30 hingga 16.40 WIB di Jalan Cendana, kediaman Soeharto.
Adapun, yang pertama masuk ke kediaman Kepala Negara adalah F-ABRI, disusul Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI), Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dan terakhir Fraksi Utusan Daerah (F-UD).
Masing-masing perwakilan fraksi menggunakan waktu sekitar 30 menit, kecuali F-UD yang menggunakan waktu sekitar 45 menit.
Kepada kelima fraksi MPR, Pak Harto dengan jelas menyatakan bersedia untuk dicalonkan kembali untuk memegang jabatan Presiden masa bakti 1998-2003 bersama dengan BJ Habibie.
Usai konsultasi, setiap Fraksi secara berurutan keluar ruangan dan menjumpai puluhan wartawan media cetak dan elektronik dari dalam dan luar negeri di halaman kediaman Presiden.
Baca juga: Patahnya Palu dan Firasat Harmoko Ihwal Kejatuhan Soeharto
Ginanjar Kartasasmita yang notabene perwakilan dari F-KP menjumpai wartawan dan menyatakan bahwa Soeharto bersedia dicalonkan lagi menjadi presiden.
"Syukur Alhamdullillah, beliau telah menerima usul pencalonan dari F-KP. Beliau juga mengharapkan dukungan dari kekuatan-kekuatan sosial politik yang telah memberikan kepercayaan kepada beliau untuk dicalonkan kembali." kata Ginandjar Kartasasmita.
Setelah itu, berkas pencalonan dari kelima fraksi MPR segera dikirimkan kepada Ketua DPR/MPR untuk segera diadakan sidang.
Akhirnya dalam Rapat Pimpinan (Rapim) MPR yang berlangsung secara tertutup selama sekitar 20 menit di Istana Negara, Jakarta mengambil kesimpulan bahwa berkas Soeharto telah memenuhi persyaratan.
Dilansir Harian Kompas yang terbit pada 10 Maret 1998, di hadapan para pimpinan MPR, Soeharto menyatakan kesediaannya menjalankan haluan negara sesuai dengan GBHN (Garis- garis Besar Haluan Negara).
Tak lama kemudian, tepatnya pada 11 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto menjadi presiden RI periode 1998-2003.
Terpilihnya Presiden Soeharto diiringi tepuk tangan meriah seluruh anggota majelis yang kemudian dilanjutkan dengan standing ovation (tepuk tangan sambil berdiri).
Namun, di luar Sidang Umum MPR sejumlah mahasiswa dan aktivis demokrasi meneriakkan penolakan terhadap terpilihnya Soeharto.
Dari hari ke hari, aksi demonstrasi semakin besar. Mahasiswa bahkan mulai beraksi di luar kampus, hingga mengakibatkan Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang menewaskan sejumlah mahasiswa dan masyarakat sipil.
Tragedi Trisakti kemudian menimbulkan kerusuhan Mei 1998 di sejumlah lokasi. Meski demikian, kerusuhan tidak membuat mahasiswa berhenti untuk menuntut reformasi dan meminta Soeharto mundur.
Mahasiswa bahkan sampai menguasai Gedung MPR/DPR pada 19 Mei 1998. Dinamika politik yang semakin menyudutkan Soeharto membuat Jenderal yang Tersenyum itu tak berdaya. Pada 21 Mei 1998, Soeharto pun mundur. Orde Baru jatuh.
Baca selengkapnya artikel tentang jatuhnya Soeharto dalam VIK: Kejatuhan (daripada) Soeharto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.