Tahun ini kasus pernikahan usia anak kembali bergaung keras. Gadis ciik di Bantaeng, pelosok Sulawesi Selatan yang memicunya.
Kita marah karena isu ini pun terjadi di wilayah perkotaan.
Widia (29) adalah perempuan cerdas dengan banyak bakat dan kebisaan. Ia kini bekerja sebagai asisten rumah tangga, penjual baju online dan mengurus rumah.
Ia harus melupakan mimpinya sekolah tinggi pada saat ia justru memperoleh beasiswa masuk SMK Keperawatan di Depok Jawa Barat.
Orang tuanya menyerah karena tak mampu membiayai (hanya) ongkos pulang-pergi sekolah.
Ia menikah muda, mengubur mimpi sekolah tinggi dan kini merawat tiga anak yang masih sangat kecil.
Tentang isu pernikahan usia anak, begitu banyak yang bisa saya ingat dari penelitian-penelitian Kajian Wanita UI.
Salah satunya yang ditulis oleh ibu negara Republik Indonesia, istri Presiden Abdurachman Wahid: Sinta Nuriah Rahman Wahid pada saat akhir studinya di Kajian Wanita UI tahun 1998.
Judulnya “Perkawinan Usia Muda dan Kesehatan Reproduksi, Studi Kasus di Kecamatan Sekar Arum Kabupaten Brebes Jawa Tengah”.
Tahun ini, Rumah KitaB, sebuah lembaga riset dan advokasi tentang isu gender dan Islam, meluncurkan 14 buku hasil penelitian di 9 daerah tentang perkawinan usia anak di Indonesia.
Ada empat temuan pokok yang bisa kita pegang untuk menjawab mengapa praktik perkawinan usia anak terus berlangsung.
Pertama, praktik ini terkait dengan perubahan ruang hidup dan sosio-ekologis lingkungan. Terjadinya pergeseran kepemilikan tanah atau alih fungsi tanah telah mempersempit lapangan pekerjaan di desa.
Ketika suatu daerah mengalami perubahan ruang hidup yang berpengaruh kepada perubahan-perubahan relasi gender di dalam keluarga, dapat dipastikan di daerah itu terdapat kecenderungan tingginya kawin anak.
Hilangnya tanah serta sumber ekonomi di desa mendorong orangtua merantau baik tetap atau sirkuler atau berimigrasi.
Kedua, hilangnya peran orangtua akibat migrasi telah pula berdampak pada perubahan pembagian kerja dan peran gender di tingkat keluarga.
Banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama. Namun, perubahan ini tak diikuti dengan perubahan peran lelaki di ruang domestik.
Meskipun mereka menganggur, secara budaya, lelaki tak disiapkan menjadi orangtua pengganti. Akibatnya, anak perempuan mengambil alih peran ibu, dalam banyak kasus mereka terpaksa berhenti sekolah.
Ini mendorong mereka cepat kawin karena tak sanggup menanggung beban rumah tangga orangtuanya.
Ketiga, perkawinan anak merupakan konsekuensi logis dari semakin kakunya nilai-nilai moral akibat hilangnya kuasa pemimpin lokal pada sumber-sumber ekonomi dan aset desa, serta melemahnya kekuasaan tradisional mereka.
Mengapa saya bersikeras menyoroti kedua isu perempuan ini?
Ini isu berkepanjangan dan ada sejak sebelum Republik Indonesia ada. Isu yang bahkan telah menjadi salah satu isu utama pada Kongres Perempuan 1928.
Profesor Saparinah Sadli, guru besar UI dan pegiat isu perempuan, juga pendiri Kajian Wanita Universitas Indonesia yang hasil penelitiannya banyak saya kutip di awal tulisan ini, mengingatkan itu dalam kolomnya yang berjudul “Rembuk Perempuan” (Kompas, 22 Desember 2018, hal. 6).
Saparinah menulis, “Apa kaitan perayaan Hari Ibu di tengah kemajuan zaman dengan “remboeg’” di Kongres Nasional Perempuan pertama? Kongres Perempoen tahun 1928 itu telah membahas berbagai hal terkait perempuan yang dianggap perlu diperjuangkan dalam mengisi kualitas kehidupan dan kemajuan berbangsa. Diantaranya, diangkat isu perlunya mengurangi perkawinan usia dini dan kematian ibu melahirkan. Meskipun tentu saja saat itu belum didukung angka statistik. Belum lahir pula nama “Indonesia”. Dua permasalahan: AKI dan pernikahan usia anak, yang ternyata hingga hari ini, dengan didukung oleh angka dan hasil penelitian, masih relevan untuk diperjuangkan. Kini, sembilan puluh tahun setelah Kongres Perempuan Pertama itu, persoalan perempuan masih sama.”
Saparinah juga mengingatkan, permasalahan yang diangkat tahun 1928 itu,bukannya tidak ditindaklajuti oleh para pejuang atau aktivis perempuan masa kini.
Para aktivis perempuan masa kini, mungkin tanpa mengaitkannya dengan Kongres Perempuan Pertama,telah menjadi pejuang-pejuang perempuan bangsa masa kini.
Perjuangan mereka pada dasarnya bertumpu pada keyakinan bahwa “Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia.”
Jadi, apa yang harus diperjuangkan perempuan di era milineal?
Selain tentunya mengingat dua isu yang selalu menjadi pekerjaan rumah yang belum tamat itu, kita berjuang di ranah kita masing-masing.
Selalu ingat, kita adalah sebagian (kecil) perempuan Indonesia yang beruntung, berpendidikan baik, sehingga dapat memilih dan menjadi apapun yang kita inginkan.
Dengan selalu mengingatnya, kita juga membantu (tak langsung) berjuang untuk menguranginya.
Selamat berjuang perempuan Indonesia! Selamat Hari Perempuan Internasional!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.