Isu ini menjadi momok yang luar biasa pada kerja penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Dalam “Perjalanan Panjang Menggugah dan Menyadarkan Pentingnya Kesehatan Reproduksi Perempuan” ditulis Iklilah Muzayanah Dini Fajriah, dalam buku Pengetahuan dari Perempuan: Kumpulan Penelitian Tesis dan Wajah Lulusan (Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2010, hal. 143-156), jejak menyedihkan kasus kematian ibu melahirkan telah terekam dalam penelitian-penelitian sepanjang 20 tahun Studi Kajian Wanita (sekarang Kajian Gender) dilakukan.
Saya mengutip Iklilah,”... bila kita membincangkan kesehatan reproduksi perempuan, sesungguhnya posisi pengambil keputusan adalah posisi strategis bagi perempuan untuk menyelamatkan dirinya dari berbagai persoalan kesehatan reproduksinya. Namun, tampaknya persoalan tersebut masih membutuhkan perjuangan panjang yang tidak mudah. Penyebabnya, karena sistem budaya dan sistem politik belum sepenuhnya memberikan ruang pada perempuan.”
Iklilah memetakan betapa banyaknya penelitian di Program Pascasarjana Kajian Gender (dulu Kajian Wanita) Universitas Indonesia (UI) yang mengambil topik tesis kematian ibu melahirkan.
Bayangkan, bagaimana penelitian itu ditulis dalam rentang waktu yang cukup panjang: 1990-2010, dan dilakukan hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Misalnya, apa yang dilakukan oleh Yenina Akmal dalam penelitiannya tentang kesehatan reproduksi ibu-ibu di Suku Sentani, Papua (Yenina Akmal, 2000) sampai catatan pengalaman ibu-ibu miskin melahirkan di lahan tandus Gunung Kidul, Yogyakarta (Endah Prihatiningtyastuti, 2006), dan masih ada penelitian-penelitian menyoal kesehatan ibu hamil dan melahirkan yang lainnya pada rentang waktu 20 tahun itu.
Penelitian Yenina Akmal yang dalam bagian buku ini berjudul “Perempuan dan Pemanfaatan Pelayanan Program Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas Daerah Terpencil”, hasilnya menyedihkan, menarik dan bisa menjadi pembuka mata.
Begitu lekatnya angka kematian ibu melahirkan (AKI) berada pada peringkat tertinggi isu kesehatan perempuan di Indonesia, sejak 10 tahun lalu, padahal kita telah memiliki Badan Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) sejak tahun 1950-an (hal. 157).
Ini masalah lama yang bahkan sudah dibicarakan pada Kongres Perempuan Pertama tahun 1928 di Yogyakarta.
Penelitiannya atas ibu-ibu di kabupaten Sentani Papua ini menunjukkan bagaimana sulitnya menghapuskan data yang buruk ini. Padahal, kebijakannya sudah diupayakan dari hulu ke hilir.
Saat itu (2000), AKI di tingkat nasional berkisar pada angka 390/100.000 kelahiran hidup. Provinsi Papua, yang saat penelitian ini dibuat masih bernama Provinsi Irian Jaya, adalah penyumbang angka AKI terbesar: 700/100.000 kelahiran hidup. Angka itu masih relatif tetap sampai saat ini.
Miris? Ya, sangat, mengingat kasus-kasus itu terjadi meluas di seluruh Indonesia, sampai hari ini. Rasanya, kebijakan yang pro perempuan memang menjadi jawaban persoalan ini.
Perlu kebijakan di hulu dan pelaksanaan di setiap daerah dengan pengawasan yang ketat atas fasilitas-fasilitas kesehatan tingkat pertama pada hilirnya. Perlu sebuah penelitian lagi untuk memetakan AKI saat ini.