JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan perusahaan PT Merial Esa sebagai tersangka.
Penetapan tersangka ini hasil pengembangan kasus dugaan suap kepengurusan anggaran Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk proyek pengadaan satelit monitoring dan drone dalam APBN-P Tahun 2016.
Kasus ini mulai berjalan sejak 2016.
Perjalanan kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 14 Desember 2016. Saat itu KPK mengamankan pejabat Bakamla dan sejumlah pihak swasta. Tim KPK juga mengamankan uang Rp 2 miliar.
Usai OTT, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka adalah Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi, Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah, dan dua orang swasta bernama Hardy Stefanus dan Muhammad Okta.
Keempatnya sudah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam rentang waktu berbeda
Eko Susilo Hadi
Pada Senin (17/7/2017) Eko Susilo Hadi divonis 4 tahun dan 3 bulan penjara. Eko juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
Baca juga: Pejabat Bakamla Eko Susilo Hadi Divonis 4 Tahun 3 Bulan Penjara
Eko terbukti menerima suap dari PT Melati Technofo Indonesia. Eko terbukti menerima 10.000 dollar AS, 10.000 Euro, 100.000 dollar Singapura, dan 78.500 dollar AS.
Fahmi Darmawansyah
Fahmi Darmawansyah divonis 2 tahun 8 bulan pada Rabu (24/5/2017).
Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Menyuap Pejabat Bakamla, Fahmi Darmawansyah Divonis 2 Tahun 8 Bulan
Kemudian, Bambang Udoyo, selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla sebesar 105.000 dollar Singapura.
Selanjutnya, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan sebesar 104.500 dollar Singapura, dan Tri Nanda Wicaksono selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha Sestama Bakamla sebesar Rp 120 juta.
Pemberian uang untuk memenangkan perusahaan yang dimiliki Fahmi, yakni PT Melati Technofo Indonesia, dalam pengadaan monitoring satelit.
- M Adami Okta dan Hardy Stefanus
Mantan pegawai PT Melati Technofo Indonesia, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, divonis 1,5 tahun penjara, Rabu (17/5/2017). Keduanya juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca juga: Dua Terdakwa Penyuap Pejabat Bakamla Divonis 1,5 Tahun Penjara
Menurut hakim, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta terbukti ikut menyuap empat pejabat Bakamla.
Seiring perjalanannya, penanganan kasus ini berlanjut.
KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu mantan anggota Komisi I DPR Fayakhun Andriadi, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan dan Manager Director PT Rochde & Swarz Indonesia Erwin Sya'af Arief.
Ia diduga menerima suap berupa hadiah atau janji yang terkait dengan jabatannya.
Suap diduga merupakan fee atas jasa Fayakhun dalam memuluskan anggaran pengadaan satelit monitoring di Bakamla pada APBN-P tahun anggaran 2016.
-Nofel Hasan
Ia diduga bersama-sama menerima hadiah atau janji yang diduga diberikan terkait jabatannya sebagai PPK. Dia diduga menerima 104.500 dollar AS terkait proyek pengadaan monitoring satelit Bakamla.
-Erwin Sya'af Arief
Erwin diduga menjadi perantara dana suap dari Fahmi Darmawansyah kepada Fayakhun Andriadi yang saat itu anggota Komisi I DPR RI.
Suap itu bertujuan memuluskan pembahasan penambahan anggaran Bakamla tahun 2016 di DPR. Erwin saat ini masih menjalani penyidikan di KPK.
Dua dari tiga tersangka tersebut sudah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kurun waktu yang berbeda.
-Fayakhun Andriadi
Fayakhun divonis 8 tahun penjara. Ia juga dihukum membayar denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Baca juga: Politisi Golkar Fayakhun Andriadi Divonis 8 Tahun Penjara
Fayakhun terbukti menerima suap 911.480 dollar Amerika Serikat. Uang tersebut diberikan oleh Fahmi Darmawansyah.
Uang diberikan agar Fayakhun selaku anggota Komisi I DPR mengupayakan alokasi atau ploting penambahan anggaran pada Bakamla. Anggaran tersebut diusulkan pada APBN-P 2016.
-Nofel Hasan
Ia divonis empat tahun penjara. Nofel diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.
Baca juga: Mantan Pejabat Bakamla Nofel Hasan Divonis Empat Tahun Penjara
Novel terbukti menerima uang 104.500 dollar Singapura dari Fahmi Darmawansyah.
Setelah mencermati fakta-fakta persidangan sebelumnya, KPK menemukan dugaan keterlibatan korporasi. Perusahaan milik Fahmi Darmawansyah, PT Merial Esa (ME) ditetapkan sebagai tersangka.
"KPK membuka penyidikan baru dan menetapkan sebuah korporasi sebagai tersangka, yaitu PT ME (Merial Esa)," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (1/3/2019) sore.
Baca juga: Pengembangan Kasus Bakamla, KPK Tetapkan PT Merial Esa sebagai Tersangka Korporasi
Uang tersebut dikirim oleh Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah sebanyak 4 kali lewat rekening di Singapura dan Guangzhou, China.
PT ME merupakan korporasi yang disiapkan mengerjakan proyek satelit monitoring di Bakamla setelah dianggarkan dalam APBN-P Tahun 2016.
Salah satu sosok yang masih ditelusuri oleh KPK adalah Ali Fahmi alias Ali Habsyi.
Pada persidangan Rabu (26/9/2018), salah seorang anggota majelis hakim menilai Kepala Bakamla saat itu, Laksamana Madya Arie Soedewo lalai mengangkat Ali Habsyi sebagai narasumber bidang perencanaan serta pengadaan barang dan jasa.
Sebelumnya, Arie menjelaskan, Ali Habsyi pernah mendatanginya pada saat dia dilantik sebagai kepala Bakamla pada Maret 2016. Ali menjelaskan, bahwa dia cukup berpengalaman di Kementerian Pertahanan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Setelah itu, Arie mengaku mengangkat Ali Habsyi sebagai narasumber untuk membantunya menjalankan tugas-tugas selaku kepala Bakamla. Namun, tugas Ali hanya sebatas perencanaan dan pengadaan.
Baca juga: Hakim Anggap Kepala Bakamla Lalai Angkat Ali Habsyi sebagai Narsum
Tetapi, menurut Arie, dia baru tahu belakangan bahwa Ali mengurus usulan anggaran Bakamla di DPR. Arie juga baru mengetahui bahwa Ali menerima uang dari PT Merial Esa terkait pengusulan anggaran tersebut.
Hakim kemudian menanyakan apakah Arie mengetahui keberadaan Ali saat ini. Sebab, menurut hakim, keberadaan Ali menjadi misterius karena tidak ada yang mengetahuinya.
"Saya tidak tahu dia di mana. Tapi dulu alamatnya di Depok," kata Arie di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Dugaan keterlibatan Ali Habsyi juga terungkap dari kesaksian mantan pegawai PT Merial Esa M Adami Okta di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (27/8/2018).
Adami mengatakan, agar anggaran proyek dapat diberikan pemerintah, Fahmi Darmawansyah diminta untuk memberikan fee kepada Ali Habsyi.
Menurut dia, Ali Habsyi meminta fee yang harus diberikan sebesar 7 persen dari nilai anggaran yang diperkirakan sebesar Rp 1,5 triliun.
Baca juga: Kasus Bakamla, Fayakhun Andriadi Kembalikan Uang Rp 2 Miliar ke KPK
Tahap pertama, PT Merial Esa menyerahkan fee sebesar 911.480 dollar Amerika Serikat kepada Fayakhun. Sementara, Ali Habsyi diberikan Rp 54 miliar.
Di sisi lain, KPK masih terus mencari keberadaan Ali Habsyi. Sebab, ia beberapa kali tak pernah memenuhi pemeriksaan KPK terkait kasus Bakamla ini.
"Ketika kami cek ke lokasi tempat yang bersangkutan berada itu tidak ada. KPK juga lakukan proses pencarian karena kami masih butuh pemeriksaan terhadap yang bersangkutan dalam penyidikan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (27/12/2018).
Febri memastikan pihaknya akan terus melacak keberadaan Ali Habsyi.