JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan komsioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Sigit Pamungkas, menilai, perubahan Undang-Undang Pemilu yang mengatur tentang pencetakan surat suara bisa dilakukan KPU melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun mengajukan diterbitkannya Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Menurut Sigit, uji materi ke MK memang memudahkan kerja KPU dalam menyelesaikan masalah surat suara, akan tetapi rumit secara politik.
"Perubahan pada level UU, baik melalui Perppu, revisi UU oleh DPRA, atau uji materi ke MK memudahkan kerja KPU, namun rumit secara politik," ujar Sigit kepada Kompas.com, Rabu (27/2/2019).
Ia mengatakan, perubahan UU paling mudah dilakukan melalui uji materi di MK dengan KPU sebagai pemohon.
Baca juga: Polemik Kekurangan Surat Suara, KPU Lebih Senang Buat PKPU, tetapi...
Sebab, KPU memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi. Dia menyebutkan, beberapa kali KPU melakukan uji materi dan dikabulkan oleh MK.
"Tapi di luar perubahan di level UU, KPU dapat memfasilitasi kebutuhan surat suara pemilih tambahan melalui pengaturan distribusi pemilih tambahan yang sesuai dengan ketersediaan surat suara di tempat pemungutan suara (TPS), mobilisasi surat suara sesuai data pemilih tambahan, dan mobilisasi surat suara pada hari pencoblosan atau TPS yang suaranya tidak terpakai," papar Sigit.
"KPU juga perlu mempersiapkan alas hukum yang dibutuhkan untuk mobilisasi surat suara dari satu TPS ke TPS lain guna memenuhi kebutuhan surat suara tambahan," lanjut dia.
Sigit menekankan, apa pun solusi yang dipilih merupakan kewenangan KPU. Namun, ia mengingatkan, yang terpenting adalah administarasi tata kelola distribusi logistik yang rapi.
Baca juga: KPU Tak Mau Jadi Pemohon Uji Materi Aturan Pencetakan Surat Suara
Sementara itu, KPU memutuskan tidak mengajukan uji materi ke MK.
KPU tak akan menjadi pemohon uji materi, tetapi mempersilakan jika ada pihak lain yang berupaya untuk mengajukan uji materi.
"KPU sudah membahas kemarin, opsi judicial review tidak KPU lakukan (sebagai pemohon), tapi mungkin dari pihak lain," kata Komisioner KPU Viryan Azis di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/2/2019).
KPU enggan menjadi pemohon uji materi lantaran masih mempertimbangkan opsi lain untuk menyelesaikan persoalan kekurangan surat suara untuk pemilih yang berpindah TPS atau pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
KPU menilai, masyarakat yang tercatat sebagai pemilih DPTb adalah pihak yang punya legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi.
Baca juga: Atasi Masalah Surat Suara, Denny Indrayana Tawarkan Solusi Three In One
Menurut Viryan, uji materi bisa dilakukan dalam waktu yang cepat. Pernah terjadi, uji materi dilakukan jelang Pemilu 2009. Saat itu, uji materi diselesaikan dalam waktu 2-3 hari.
Jika uji materi dilakukan, maka Pasal yang akan diuji di antaranya Pasal 344 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Pasal tersebut mengatur soal jumlah surat suara pemilu yang dicetak sama dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ditambah dengan 2 persen dari DPT per TPS.
Sebanyak 2 persen surat suara itu merupakan surat suara cadangan yang sebetulnya digunakan untuk mengganti surat suara yang kemungkinan rusak.
Pasal ini dinilai mengabaikan pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Sebab, tak ada aturan yang menyebutkan tentang ketentuan surat suara untuk pemilih tambahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.