DEBAT pemilihan presiden kedua yang digelar 17 Februari 2019 lalu seakan membuka kotak pandora. Debat yang diikuti oleh calon presiden tersebut memunculkan isu-isu baru yang dijadikan bahan oleh kubu yang berkontestasi untuk melancarkan serangan demi serangan ke kubu lawan.
Salah satu isu yang muncul dari debat adalah soal kepemilikan lahan. Isu ini mencuat setelah calon presiden Joko Widodo menyinggung kepemilihan lahan Prabowo seluas ratusan ribu hektare di Aceh dan Kalimantan Timur di dalam debat.
Sahut-menyahut antarkedua kubu mengenai masalah kepemilikan lahan terus bergulir hingga lebih dari seminggu setelah debat. Bahkan, Joko Widodo kembali menyindir masalah ini saat berpidato pada Konvensi Rakyat Optimis Indonesia Maju di Sentul International Convention Center, Bogor, Minggu (24/2) lalu. Ia mengatakan menunggu pemilik lahan konsesi untuk mengembalikan lahannya kepada negara.
Perhelatan debat presidensial, yang semula diperkirakan menjadi penanda babak baru kampanye pilpres 2019 yang lebih substansial, ternyata berakhir tidak seperti yang diharapkan.
Debat bukannya memicu perdebatan elaboratif mengenai gagasan dan program yang dipaparkan, namun justru memunculkan amunisi baru untuk saling serang dan saling sindir.
Meningkatnya tensi saling serang dan saling sindir ini akan dibahas dalam program talk show Satu Meja The Forum, Rabu (27/2), di Kompas TV.
Harus diakui sejauh ini jalannya kampanye pilpres yang telah berlangsung lebih dari lima bulan tidak seperti yang dicita-citakan. Memasuki seperempat akhir masa kampanye, serangan yang muncul masih seputar gimmick nonsubstansi. Perdebatan yang mengemuka masih belum menyentuh gagasan dan program.
Di hari yang sama saat Jokowi menyindir pemilik konsesi untuk mengembalikan lahannya, calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, menyindir soal para elite Jakarta yang kehilangan akal sehat dan membodohi rakyat dengan membagi-bagikan uang dan sembako pada 17 April nanti.
Hal ini diucapkan Prabowo saat berpidato di hadapan pendukungnya di GOR Kesenian Majapahit, Kota Mojokerto, Minggu (24/2).
Agaknya, sulit berharap akan terjadi perubahan taktik kampanye. Taktik seperti ini tampaknya akan terus dimainkan hingga akhir masa kampanye.
Jokowi, yang semula dicitrakan sebagai sosok yang kalem, tampil semakin agresif dan menyerang. Sementara Prabowo, yang sempat mendapatkan sentimen positif karena tampil kalem pada debat kedua, kembali tampil menyerang usai debat.
Di sisi lain, seperti diungkapkan pakar media sosial Ismail Fahmi, isu substansial yang lebih bersifat gagasan atau ide tidak laku di media sosial dibandingkan isu nonsubtansial seperti politik identitas.
Celakanya, seperti diutarakan Direktur Remotivi Muhammad Heychael, media massa mengikuti arus politik yang nonsubtansial tersebut. Remotivi, yang merupakan pusat studi media dan komunikasi, menganggap media seharusnya menjadi alat untuk mengoreksi isu-isu nonsubstansial tersebut.
Jika riuh rendah kampanye masih jauh dari hal-hal substansi seperti ini, akan semakin sulit bagi kedua kubu untuk menggapai para pemilih berayun (swing voters) dan mereka yang belum menentukan pilihan (undecided voters).
Keduanya merupakan kelompok pemilih rasional yang menantikan gagasan dan program yang lebih konkret dan terukur dari kedua pasangan calon presiden. Jumlahnya pun diperkirakan mencapai 40 persen dari total pemilih yang ada.