Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akhmad Danial
Dosen dan Pengamat Komunikasi

Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; pengamat komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengapa Prabowo Tidak Menyerang Balik Jokowi?

Kompas.com - 21/02/2019, 19:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APA yang masih menjadi perbincangan hangat publik, khususnya di media sosial, setelah debat kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang mempertemukan dua calon presiden (capres), beberapa hari lalu?

Tampaknya, salah satu yang paling melekat di benak publik adalah penyataan capres nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi), yang dinilai “menyerang” lawan debatnya, capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, soal kepemilikan lahan ratusan ribu hektar di Kalimantan Timur dan Aceh.

Serangan Jokowi itu begitu melekat di benak publik karena hentakannya datang tiba-tiba dan sama sekali tidak bisa diprediksi.

Saat itu, Prabowo menyampaikan posisinya terkait reforma agraria sembari mengkritik pendekatan bagi-bagi sertifikat tanah yang dilakukan pemerintah sebagai tidak menyelesaikan inti masalah. Tiba-tiba, Jokowi membalasnya dengan informasi soal lahan yang dikuasai Prabowo sembari menyatakan hal itu tidak terjadi di eranya.

Bagi mereka yang mendamba debat capres di Indonesia memakai format debat “berdarah” capres Amerika dengan para kandidat saling serang satu sama lain, gaya attacking Jokowi itu laiknya oase dari keringnya nuansa dramatik dari pelaksanaan debat pertama Pilpres 2019.

Dalam debat pertama pun, Jokowi konsisten bermain ofensif lewat isu calon anggota legislatif Partai Gerindra yang dia sebut banyak diisi mantan napi koruptor. 

Sebaliknya, performa Prabowo dalam menanggapi serangan-serangan Jokowi dinilai terlalu dingin dan mengecewakan. Prabowo menanggapi serangan itu dengan gaya normatif dan tidak melakukan serangan balik.

Tanggapan Prabowo memicu kekecewaan mereka yang ingin mendapatkan tontonan debat “berdarah”, tidak saja di kalangan publik tetapi bahkan di internal pendukung Prabowo sendiri.

Pertanyaannya, mengapa Prabowo tidak menyerang balik Jokowi?

Strategi Prabowo?

Pada awalnya, saya menilai penampilan “dingin” Prabowo dalam debat pertama dan kedua Pilpres 2019 lahir dari pemahamannya atau saran dari para penasihatnya, tentang dua hal. 

Pertama, pemahaman tentang hakikat debat capres dan dampak elektoralnya. Kedua, pemahaman mendalam Prabowo tentang medium televisi.

Terkait hal pertama, dalam banyak literatur, dampak debat politik pada pilihan politik dianggap sangat kecil.

Calon Presiden Nomor Urut 01, Joko Widodo (kiri) dan no urut 02, Prabowo Subianto bersalaman usai Debat Kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019).KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Calon Presiden Nomor Urut 01, Joko Widodo (kiri) dan no urut 02, Prabowo Subianto bersalaman usai Debat Kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019).

Sebagaimana dipaparkan ilmuwan politik Thomas Holbrook (1996), persepsi dari kebanyakan penonton debat capres sangat dipengaruhi kecenderungan politik mereka sebelum debat. Karenanya, tegas Holbrook, alat ukur paling baik untuk menebak pandangan penonton tentang siapa yang memenangkan debat adalah dengan melihat preferensi politiknya.

Karenanya, seusai debat kita bisa melihat riuh rendah klaim para pendukung masing-masing kandidat bahwa kandidat yang didukungnya memenangkan debat.

Saya menilai Prabowo dan timnya mengetahui hal ini sehingga tidak terlalu menganggap serius serangan lawan debatnya karena adanya keyakinan bahwa debat tidak terlalu berpengaruh pada pilihan massa yang telah mendukungnya sebelum debat.

Prabowo dan timnya lebih fokus pada upaya meraih suara mereka yang belum menentukan pilihan atau undecided voters. Hal itu dinilai akan berhasil dengan cara menyampaikan saja visi dan misinya terkait topik yang dibicarakan. Prabowo berupaya mengenalkan dirinya, tidak terlalu fokus pada lawan debatnya.

Meski begitu, Prabowo tampak setuju pada Neil Postman (1985) yang menyatakan, televisi adalah medium penyampaian pesan dalam bentuk citra visual, bukan ucapan.

Setiap acara televisi, bahkan debat capres, tidak dirakit untuk rangkaian teks yang “dibaca” atau paparan visi-misi yang “didengar”, tetapi tayangan yang “dilihat”. Karenanya, dia berusaha tampil dengan presidential look, mengharamkan pembacaan teks dan menampilkan retorika yang baik.

Kesadaran Prabowo bahwa acara debat capres di televisi adalah “panggung yang ditonton”, bisa dijadikan dasar penjelasan mengapa dia tidak tampil berlebihan menanggapi serangan kubu lawan.

Bagi Prabowo, jika dia terpancing dengan bersikap emosional bahkan menyerang balik, hal itu akan meneguhkan citranya selama ini sebagai sosok temperamental, bahkan psikopat. Karenanya, dia merespons santai dengan berjoget. Aksi panggung yang membuat frustasi.

Debat Jawa?

Belakangan, saya mendapati kelemahan argumen bahwa penampilan kalem Prabowo itu adalah strategi yang dirancang khusus Prabowo dan timnya dalam menjalani debat.

Pasalnya, sejak debat pertama, sudah ada cerita bahwa Sandiaga Uno meminta Prabowo membalas serangan Jokowi, tetapi ide itu ditolak. Dalam debat kedua, ada juga usulan tim agar Prabowo membalas dengan menagih janji Jokowi yang belum ditunaikan, tapi itu pun ditolak.

Karenanya, pasti ada hal lain yang bisa menjelaskan sikap non-ofensif Prabowo dalam debat. Sesuatu yang sifatnya lebih internal dalam diri Prabowo, bukan di luarnya.

Hal ini lantas menuntun saya pada penjelasan yang bernuansa kultural menyangkut nilai-nilai yang menjadi preferensi sikap berpolitik seorang Prabowo, yang termanifestasi dalam rangkaian aksinya, tidak saja dalam ajang debat capres tetapi juga dalam beragam kesempatan.

Dan, saya mendapatinya dalam bukunya, Indonesia Menang (2018). Di situ, Prabowo menyatakan dia menganut prinsip kepemimpinan "menang tanpa ngasorake" yang dianut RM Panji Sostrokartono, kakak pahlawan nasional RA Kartini.

Prabowo mengartikan prinsip itu sebagai menang tanpa merendahkan orang lain, menang tanpa menghinakan, menang tanpa mempermalukan, menang dengan cara elegan, dan menang dengan jiwa besar.

Di buku itu, Prabowo memberi contoh cara dia menerapkan prinsip itu saat dalam kampanye Pilpres 2014, ketika dia banyak diserang soal rekam jejaknya di bidang hak asasi manusia (HAM). Dia merespons semua tudingan itu tanpa membalas dengan tudingan negatif serupa.

Calon Presiden Nomor Urut 01, Joko Widodo (baju putih) dan no urut 02, Prabowo Subianto (berjas, nomor dua dari kanan), berforto bersama usai Debat Kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019).KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Calon Presiden Nomor Urut 01, Joko Widodo (baju putih) dan no urut 02, Prabowo Subianto (berjas, nomor dua dari kanan), berforto bersama usai Debat Kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019).

Menariknya, tanpa merujuk dalam momen apa, Prabowo menyatakan saat dia mendapat kesempatan bertanya ke lawan politik, dia memilih pertanyaan yang tidak bersifat pribadi, tidak menyerang atau memojokkan.

Dia juga tidak menyindir atau menatap sinis, bahkan justru tidak segan memuji dan menghormati pendapat lawannya.

Prabowo lantas mengutip uangkapan Jawa lain, "ajining diri saka pucuke lathi"—harga diri seseorang terletak pada lidahnya.

Semua pernyataan Prabowo ini terlihat konsisten dalam debat kedua Pilpres 2019. Dia tidak menyerang balik dengan pertanyaan pribadi yang terkesan memojokkan, bahkan mengakui prestasi Jokowi.

Pilihan berisiko

Pertanyaannya, seberapa efektifkah sikap politik semacam itu dalam kontestasi Pilpres yang dirasakan sangat kompetitif, keras, dan bernuansa membelah warga bangsa menjadi dua kelompok yang saling berseteru satu sama lain ini?

Tidak semua orang memiliki sikap politik yang sama dengan Prabowo, bahkan di kalangan para pendukungnya sendiri. Banyak yang menyatakan gemas atas sikap mengalahnya itu.

Konsep "menang tanpa ngasorake" memang mengandung keluhuran budi dan cara berpolitik yang etis, tetapi sikap itu berisiko memunculkan dampak elektoral negatif bagi Prabowo.

Memang, di akhir acara, atas permintaan dari timnya, Prabowo melakukan klarifikasi atas kepemilikan tanahnya.

Baca juga: JEO-Hal-hal Krusial Terkait Debat Kedua Jokowi dan Prabowo

Namun, persepsi yang terlanjur terbangun di masyarakat karena sengaja dibangun dari serangan itu adalah, Prabowo tidak punya lagi hak moral menggugat soal penguasaan tanah oleh segelintir elite karena dia termasuk dalam kelompok elite itu.

Dari sisi ini, wajar jika ada penilaian bahwa Prabowo dengan keyakinannya tentang nilai-nilai politik etis "menang tanpa ngasorake" adalah seorang politisi naif.

Kata “naif” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung beberapa arti mulai dari “sederhana”, “Lugu”, atau bahkan juga “bodoh”.

Bagaimana pun, politik adalah sebuah pertarungan yang menuntut sikap-sikap tegas bahkan diametral. Dari sisi ini, adalah sebuah kenaifan jika Anda tidak menyerang balik lawan Anda dengan menggunakan kelemahannya.

Hanya saja, saya termasuk orang yang percaya bahwa komunikasi politik memiliki konteks yang khas sehingga tidak ada praktik komunikasi politik yang benar-benar bisa diterapkan di semua tempat secara universal.

Debat capres dalam konteks Amerika yang masyarakatnya memiliki kultur komunikasi yang low context misalnya, jika diterapkan dalam masyarakat dengan kultur komunikasi high context, bisa menghasilkan dampak yang berbeda.

Apakah sikap ofensif dengan menyerang lawan politik dalam debat itu sesuatu yang wajib dan harus dilakukan guna membentuk pilihan politik publik Indonesia? Atau, bersikap simpatik dalam menghadapi seranganlah yang lebih disukai?

Jawaban atas pertanyaan itu, bisa menjadi kajian akademik menarik saat melihat hasil pilihan rakyat pada 17 April 2019.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri Lanjutkan Tugas Satgas Pengamanan untuk Prabowo

Polri Lanjutkan Tugas Satgas Pengamanan untuk Prabowo

Nasional
Menhan AS Telepon Prabowo Usai Penetapan KPU, Sampaikan Pesan Biden dan Apresiasi Bantuan Udara di Gaza

Menhan AS Telepon Prabowo Usai Penetapan KPU, Sampaikan Pesan Biden dan Apresiasi Bantuan Udara di Gaza

Nasional
Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Nasional
Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Nasional
MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

Nasional
Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Nasional
Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com