Prabowo lantas mengutip uangkapan Jawa lain, "ajining diri saka pucuke lathi"—harga diri seseorang terletak pada lidahnya.
Semua pernyataan Prabowo ini terlihat konsisten dalam debat kedua Pilpres 2019. Dia tidak menyerang balik dengan pertanyaan pribadi yang terkesan memojokkan, bahkan mengakui prestasi Jokowi.
Pilihan berisiko
Pertanyaannya, seberapa efektifkah sikap politik semacam itu dalam kontestasi Pilpres yang dirasakan sangat kompetitif, keras, dan bernuansa membelah warga bangsa menjadi dua kelompok yang saling berseteru satu sama lain ini?
Tidak semua orang memiliki sikap politik yang sama dengan Prabowo, bahkan di kalangan para pendukungnya sendiri. Banyak yang menyatakan gemas atas sikap mengalahnya itu.
Konsep "menang tanpa ngasorake" memang mengandung keluhuran budi dan cara berpolitik yang etis, tetapi sikap itu berisiko memunculkan dampak elektoral negatif bagi Prabowo.
Memang, di akhir acara, atas permintaan dari timnya, Prabowo melakukan klarifikasi atas kepemilikan tanahnya.
Baca juga: JEO-Hal-hal Krusial Terkait Debat Kedua Jokowi dan Prabowo
Namun, persepsi yang terlanjur terbangun di masyarakat karena sengaja dibangun dari serangan itu adalah, Prabowo tidak punya lagi hak moral menggugat soal penguasaan tanah oleh segelintir elite karena dia termasuk dalam kelompok elite itu.
Dari sisi ini, wajar jika ada penilaian bahwa Prabowo dengan keyakinannya tentang nilai-nilai politik etis "menang tanpa ngasorake" adalah seorang politisi naif.
Kata “naif” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung beberapa arti mulai dari “sederhana”, “Lugu”, atau bahkan juga “bodoh”.
Bagaimana pun, politik adalah sebuah pertarungan yang menuntut sikap-sikap tegas bahkan diametral. Dari sisi ini, adalah sebuah kenaifan jika Anda tidak menyerang balik lawan Anda dengan menggunakan kelemahannya.
Hanya saja, saya termasuk orang yang percaya bahwa komunikasi politik memiliki konteks yang khas sehingga tidak ada praktik komunikasi politik yang benar-benar bisa diterapkan di semua tempat secara universal.
Debat capres dalam konteks Amerika yang masyarakatnya memiliki kultur komunikasi yang low context misalnya, jika diterapkan dalam masyarakat dengan kultur komunikasi high context, bisa menghasilkan dampak yang berbeda.
Apakah sikap ofensif dengan menyerang lawan politik dalam debat itu sesuatu yang wajib dan harus dilakukan guna membentuk pilihan politik publik Indonesia? Atau, bersikap simpatik dalam menghadapi seranganlah yang lebih disukai?
Jawaban atas pertanyaan itu, bisa menjadi kajian akademik menarik saat melihat hasil pilihan rakyat pada 17 April 2019.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.