Prabowo dan timnya lebih fokus pada upaya meraih suara mereka yang belum menentukan pilihan atau undecided voters. Hal itu dinilai akan berhasil dengan cara menyampaikan saja visi dan misinya terkait topik yang dibicarakan. Prabowo berupaya mengenalkan dirinya, tidak terlalu fokus pada lawan debatnya.
Meski begitu, Prabowo tampak setuju pada Neil Postman (1985) yang menyatakan, televisi adalah medium penyampaian pesan dalam bentuk citra visual, bukan ucapan.
Setiap acara televisi, bahkan debat capres, tidak dirakit untuk rangkaian teks yang “dibaca” atau paparan visi-misi yang “didengar”, tetapi tayangan yang “dilihat”. Karenanya, dia berusaha tampil dengan presidential look, mengharamkan pembacaan teks dan menampilkan retorika yang baik.
Kesadaran Prabowo bahwa acara debat capres di televisi adalah “panggung yang ditonton”, bisa dijadikan dasar penjelasan mengapa dia tidak tampil berlebihan menanggapi serangan kubu lawan.
Bagi Prabowo, jika dia terpancing dengan bersikap emosional bahkan menyerang balik, hal itu akan meneguhkan citranya selama ini sebagai sosok temperamental, bahkan psikopat. Karenanya, dia merespons santai dengan berjoget. Aksi panggung yang membuat frustasi.
Debat Jawa?
Belakangan, saya mendapati kelemahan argumen bahwa penampilan kalem Prabowo itu adalah strategi yang dirancang khusus Prabowo dan timnya dalam menjalani debat.
Pasalnya, sejak debat pertama, sudah ada cerita bahwa Sandiaga Uno meminta Prabowo membalas serangan Jokowi, tetapi ide itu ditolak. Dalam debat kedua, ada juga usulan tim agar Prabowo membalas dengan menagih janji Jokowi yang belum ditunaikan, tapi itu pun ditolak.
Karenanya, pasti ada hal lain yang bisa menjelaskan sikap non-ofensif Prabowo dalam debat. Sesuatu yang sifatnya lebih internal dalam diri Prabowo, bukan di luarnya.
Hal ini lantas menuntun saya pada penjelasan yang bernuansa kultural menyangkut nilai-nilai yang menjadi preferensi sikap berpolitik seorang Prabowo, yang termanifestasi dalam rangkaian aksinya, tidak saja dalam ajang debat capres tetapi juga dalam beragam kesempatan.
Dan, saya mendapatinya dalam bukunya, Indonesia Menang (2018). Di situ, Prabowo menyatakan dia menganut prinsip kepemimpinan "menang tanpa ngasorake" yang dianut RM Panji Sostrokartono, kakak pahlawan nasional RA Kartini.
Prabowo mengartikan prinsip itu sebagai menang tanpa merendahkan orang lain, menang tanpa menghinakan, menang tanpa mempermalukan, menang dengan cara elegan, dan menang dengan jiwa besar.
Di buku itu, Prabowo memberi contoh cara dia menerapkan prinsip itu saat dalam kampanye Pilpres 2014, ketika dia banyak diserang soal rekam jejaknya di bidang hak asasi manusia (HAM). Dia merespons semua tudingan itu tanpa membalas dengan tudingan negatif serupa.
Menariknya, tanpa merujuk dalam momen apa, Prabowo menyatakan saat dia mendapat kesempatan bertanya ke lawan politik, dia memilih pertanyaan yang tidak bersifat pribadi, tidak menyerang atau memojokkan.
Dia juga tidak menyindir atau menatap sinis, bahkan justru tidak segan memuji dan menghormati pendapat lawannya.