Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memberdayakan Caleg Eks Koruptor untuk Dulang Suara...

Kompas.com - 21/02/2019, 15:11 WIB
Kristian Erdianto,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah petinggi partai politik mengakui adanya pertimbangan elektoral dalam mengusung calon anggota legislatif (caleg) bekas terpidana kasus korupsi.

Parpol berpandangan caleg eks koruptor masih memiliki basis massa dan modal sosial untuk mendulang suara.

Oleh sebab itu, pencalegan bekas terpidana kasus korupsi tak begitu dipersoalkan selama hak politiknya tidak dicabut melalui putusan pengadilan.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 81 caleg eks koruptor yang maju di Pemilu Legislatif (Pileg) 2019.

Dari 81 caleg, 23 caleg eks koruptor maju untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, 49 caleg eks koruptor maju tingkat DPRD kabupeten/kota, dan 9 merupakan calon anggota legislatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Hanura menjadi partai yang paling banyak mengusung caleg eks koruptor, yakni 11 orang. Kemudian, Partai Golkar dan Demokrat 10 orang, Partai Berkarya tujuh orang, serta Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebanyak enam orang.

Pertimbangan elektoral dan modal sosial

Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachlan Nashidik mengakui adanya pertimbangan elektoral di internal partainya dalam pencalonan bekas terpidana kasus korupsi sebagai anggota legislatif.

Pasalnya, kata Rachlan, tak tertutup kemungkinan caleg-caleg eks koruptor tersebut sangat diterima di masyarakat.

Aksi peringatan Hari Antikorupsi sedunia oleh sejumlah aktovis ICW di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/12/2014) Inggried Dwiwedhaswary/Kompas.com Aksi peringatan Hari Antikorupsi sedunia oleh sejumlah aktovis ICW di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/12/2014)
"Akan selalu ada pertimbangan elektoral. Saya bicara sangat jujur ini karena orang-orang yang maju itu bisa jadi adalah orang-orang yang sangat diterima di masyarakatnya yang bisa menaikkan kursi partai," ujar Rachlan saat ditemui di media center pasangan Prabowo-Sandiaga, Jalan Sriwijaya I, Jakarta Selatan, Selasa (19/2/2019).

Baca juga: DPP PPP Perintahkan Struktur Partai Tak Bantu Pemenangan Caleg Eks Koruptor

Rachlan menuturkan, pencalonan eks koruptor sebagai anggota legislatif memang menimbulkan pro dan kontra di setiap internal partai politik.

Ada pihak yang berpendapat eks koruptor tidak boleh lagi menjadi calon anggota legislatif.

Namun, ada pula yang berargumen bahwa seseorang yang telah menjalani pengadilan tidak dapat dihukum kembali dengan mematikan hak politiknya.

"Saya termasuk orang yang berpendapat bahwa ini semua adalah soal etika. Oleh karena itu, setiap partai agar dia bisa mendapatkan kepercayaan rakyat mestinya lebih tegas di dalam menentukan caleg-calegnya," kata Rachlan.

Kendati demikian, Rachlan memastikan Partai Demokrat telah berusaha untuk menekan angka caleg yang pernah menjadi terpidana dalam kasus korupsi.

Partainya mempertimbangkan berbagai aspek dalam mencalonkan para kadernya, termasuk aspek elektoral.

Baca juga: Formappi: Bertambahnya Jumlah Caleg Eks Koruptor Menggerus Optimisme Publik

"Tapi saya bisa jamin bahwa angka itu adalah angka yang sudah ditekan habis dalam partai. Kalau sekarang ada 10 (caleg eks koruptor), saya kira sebelumnya calon yang berusaha untuk masuk sudah lebih dari itu," ucapnya.

"Itu sudah kami saring dan dengan berbagai alasan yang sudah dipertimbangkan. Dengan adanya debat panjang dalam tubuh partai, ya kami pada saat ini harus bisa menerima bahwa realitasnya seperti demikian," tutur Rachlan.

Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno seusai pertemuan dengan Tim Hukum dan Advokasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di rumah pemenangan PAN, Jalan Daksa, Jakarta Selatan, Senin (8/10/2018).KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno seusai pertemuan dengan Tim Hukum dan Advokasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di rumah pemenangan PAN, Jalan Daksa, Jakarta Selatan, Senin (8/10/2018).
Hal senada juga diungkapkan Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno. Ia menuturkan bahwa caleg yang berstatus eks terpidana kasus korupsi sebenarnya memiliki basis massa.

Dengan demikian, kata Eddy, tidak heran jika partai juga memberdayakan caleg eks koruptor untuk mendulang elektabilitas pada pemilu legislatif.

"Bagaimanapun juga mereka itu kan punya basis. Mereka punya massa, paling tidak punya modal sosial sehingga kalau mereka diberdayakan, ya kenapa tidak," ujar Eddy saat ditemui di Rumah Pemenangan PAN, Jalan Daksa, Jakarta Selatan, Rabu (20/2/2019).

Eddy berpandangan eks koruptor tetap bisa mencalonkan diri selama hak politiknya tidak dicabut atas putusan pengadilan.

Baca juga: Sekjen PAN Anggap KPU Eksesif Umumkan Caleg Eks Koruptor

Bekas terpidana kasus korupsi juga dinilai telah mempertanggungjawabkan tindakannya dengan menjalani masa hukuman.

Di sisi lain, kata Eddy, masyarakat pemilih saat ini sudah cerdas dalam memilih caleg sesuai dengan rekam jejaknya.

"Bagi kami, kami merasa dari awal bahwa sepanjang dia tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan, saya kira mereka dipersilakan saja. Biarkan masyarakat yang menentukan," kata Eddy.

Perubahan struktur partai

Polemik pencalonan bekas terpidana kasus korupsi tersebut tak bisa dilepaskan dari masalah yang terjadi di struktur kepengurusan partai politik.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, selama ini struktur kepengurusan partai politik kerap diisi oleh orang-orang atau politisi yang bermasalah dengan hukum.

Misalnya, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC).

Tidak heran jika bekas terpidana kasus korupsi masih dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg).

"Sepanjang orang bermasalah masih menguasai struktur partai, mantan narapidana kasus korupsi menguasai struktur partai, kemudian masalah lanjutannya adalah dia mencalonkan diri atau mengusung orang yang bermasalah," ujar Donal saat dihubungi, Kamis (21/9/2019).

Menurut Donal, banyak bekas terpidana kasus korupsi yang justru memegang jabatan penting di struktur partai. Ia mencontohkan bekas terpidana korupsi dari Partai Gerindra, M Taufik.

Diketahui, Taufik merupakan Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta. Ia juga kembali mencalonkan diri sebagai calega DPRD DKI Jakarta.

Baca juga: Sekjen PAN: Caleg Eks Koruptor Punya Modal Sosial, Kenapa Tidak Diberdayakan?

"Kenapa M Taufik itu tidak dicoret karena dia Ketua Gerindra DKI dan yang menandatangani surat untuk pencalegan itu kan dia juga," kata Donal.

Oleh sebab itu, kata Donal, perubahan struktur organisasi harus dilakukan jika partai politik berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Memang pencalegan ini akhirnya kita belajar tidak bisa mencoret (caleg eks koruptor) hanya menjelang pemilu, tapi memang harus memperbaiki struktur partai secara organisasi," ucap Donal.

Di sisi lain, Donal tak sepakat dengan pendapat petinggi partai politik yang mengatakan caleg bekas terpidana kasus korupsi juga memiliki basis massa atau modal sosial dalam menghadapi pemilu legislatif.

Koordinator Divisi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, saat memberikan pernyataan ke sejumlah media di kantor ICW, Jakarta, Rabu (8/1/2019). KOMPAS.com/CHRISTOFORUS RISTIANTO Koordinator Divisi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, saat memberikan pernyataan ke sejumlah media di kantor ICW, Jakarta, Rabu (8/1/2019).
Menurut Donal, tidak ada yang bisa memastikan seorang caleg eks koruptor terpilih karena tingginya tingkat elektabilitas. Sebab, tidak tertutup kemungkinan ada praktik jual beli suara antara caleg dan oknum penyelenggara pemilu.

"Belum tentu juga mantan narapidana kasus korupsi itu juga terpilih murni karena masyarakat memilihnya, bisa juga karena terjadinya jual beli suara di level penyelenggara pemilu," ujar Donal.

Donal menjelaskan, praktik politik uang tidak hanya menargetkan masyarakat pemilih per individu.

Praktik jual beli suara juga terjadi dalam jumlah besar yang melibatkan caleg dan oknum penyelenggara pemilu.

"Sekarang vote buying itu juga ada secara grosiran, membeli suara di akhir, tapi mainnya dengan penyelenggara pemilu. Itu terjadi di daerah," kata Donal.

Baca juga: ICW: Belum Tentu Caleg Eks Koruptor Terpilih karena Punya Basis Massa

Oleh sebab itu, untuk mencegah politik uang terjadi, dibutuhkan penyelenggara pemilu yang berintegritas.

Di sisi lain, caleg bekas terpidana kasus korupsi tidak memiliki kesempatan untuk memanipulasi perolehan suara dengan menyuap penyelenggara pemilu.

"Maka, hasil di TPS itu harus dipastikan pada level selanjutnya, di level KPPS, kecamatan, sampai provinsi, karena di situ rawan terjadi perubahan hasil dan itu dilakukan bersama oknum penyelenggara pemilu," tuturnya.

 

Kompas TV Ada 49 nama caleg eks napi korupsi yang sudah diumumkan KPU. Namun langkah ini dinilai sebagai bentuk intervensi terhadap hak pilih masyarakat. Apakah keputusan KPU untuk mengumumkan para caleg eks koruptor sebagai bentuk intervensi terhadap hak pilih masyarakat? Apa langkah selanjutnya setelah pengumuman nama-nama ini?<br />
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Cinta Lama Gerindra-PKB yang Bersemi Kembali

Cinta Lama Gerindra-PKB yang Bersemi Kembali

Nasional
PKB Beri Sinyal Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin Dinilai Ingin Amankan Kursi Ketum

PKB Beri Sinyal Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin Dinilai Ingin Amankan Kursi Ketum

Nasional
Jokowi Teken Keppres, Tunjuk Bahlil Jadi Ketua Satgas Percepatan Swasembada Gula

Jokowi Teken Keppres, Tunjuk Bahlil Jadi Ketua Satgas Percepatan Swasembada Gula

Nasional
Anak Buah SYL Disebut Temui Ahmad Ali saat Penyelidikan Kasus Kementan di KPK

Anak Buah SYL Disebut Temui Ahmad Ali saat Penyelidikan Kasus Kementan di KPK

Nasional
Halalbihalal Merawat Negeri

Halalbihalal Merawat Negeri

Nasional
Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com