Kendati demikian, Rachlan memastikan Partai Demokrat telah berusaha untuk menekan angka caleg yang pernah menjadi terpidana dalam kasus korupsi.
Partainya mempertimbangkan berbagai aspek dalam mencalonkan para kadernya, termasuk aspek elektoral.
Baca juga: Formappi: Bertambahnya Jumlah Caleg Eks Koruptor Menggerus Optimisme Publik
"Tapi saya bisa jamin bahwa angka itu adalah angka yang sudah ditekan habis dalam partai. Kalau sekarang ada 10 (caleg eks koruptor), saya kira sebelumnya calon yang berusaha untuk masuk sudah lebih dari itu," ucapnya.
"Itu sudah kami saring dan dengan berbagai alasan yang sudah dipertimbangkan. Dengan adanya debat panjang dalam tubuh partai, ya kami pada saat ini harus bisa menerima bahwa realitasnya seperti demikian," tutur Rachlan.
Dengan demikian, kata Eddy, tidak heran jika partai juga memberdayakan caleg eks koruptor untuk mendulang elektabilitas pada pemilu legislatif.
"Bagaimanapun juga mereka itu kan punya basis. Mereka punya massa, paling tidak punya modal sosial sehingga kalau mereka diberdayakan, ya kenapa tidak," ujar Eddy saat ditemui di Rumah Pemenangan PAN, Jalan Daksa, Jakarta Selatan, Rabu (20/2/2019).
Eddy berpandangan eks koruptor tetap bisa mencalonkan diri selama hak politiknya tidak dicabut atas putusan pengadilan.
Baca juga: Sekjen PAN Anggap KPU Eksesif Umumkan Caleg Eks Koruptor
Bekas terpidana kasus korupsi juga dinilai telah mempertanggungjawabkan tindakannya dengan menjalani masa hukuman.
Di sisi lain, kata Eddy, masyarakat pemilih saat ini sudah cerdas dalam memilih caleg sesuai dengan rekam jejaknya.
"Bagi kami, kami merasa dari awal bahwa sepanjang dia tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan, saya kira mereka dipersilakan saja. Biarkan masyarakat yang menentukan," kata Eddy.
Polemik pencalonan bekas terpidana kasus korupsi tersebut tak bisa dilepaskan dari masalah yang terjadi di struktur kepengurusan partai politik.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, selama ini struktur kepengurusan partai politik kerap diisi oleh orang-orang atau politisi yang bermasalah dengan hukum.
Misalnya, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC).