PASCA-Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu, isu tentang propaganda Rusia sempat menjadi topik yang ramai diperbincangkan.
Konteks pembahasannya pun bukan hanya propaganda ala Rusia (propaganda dengan menggunakan model yang digunakan negara tersebut) saja, melainkan juga melibatkan negara tersebut secara langsung sebagai pihak yang terlibat aktif dalam mendukung calon tertentu.
Pemaknaan yang demikian tak lepas dengan apa yang sedang diperdebatkan di Amerika, yakni dugaan keterlibatan Rusia di dalam pemilihan umum Negeri Paman Sam beberapa tahun lalu.
Jika ditelisik lebih luas, gaya propaganda yang dibahas tersebut ternyata tidak saja melanda Amerika. Belum lama ini, Portal Politico menyebutkan bahwa beberapa negara di kawasan Eropa juga ditengarai menjadi tempat propaganda semacam itu yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu.
Rusia memang menggunakan model propaganda kebohongan--seperti yang disebut oleh Rand Corporation--untuk kepentingan politiknya di kawasan.
Pasca-Perang Dingin, Rusia sebagai kelanjutan Uni Soviet tampaknya masih menyimpan persaingan politik dengan musuh lamanya, AS.
Kekuatan negeri Paman Sam di satu sisi masih kuat di Eropa lewat NATO, termasuk lewat pengaruhnya di negara-negara yang berbatasan langsung dengan Rusia, termasuk juga yang terjadi di Suriah.
Di sisi lain, Rusia punya banyak kepentingan, termasuk dalam hal bisnis energi. Sebagai catatan, pipa gas dari Rusia melintas hampir di seluruh kawasan Eropa dan membuat negara-negara tersebut cukup bergantung pada negeri Beruang Merah.
Kasus pertentangan antara Rusia dan Ukraina terkait semenanjung Krimea, misalnya, disebut-sebut sebagai salah satu peristiwa yang melibatkan propaganda.
Pada pertengahan Maret 2018, TIME memuat pengakuan seorang mantan anggota buzzer team dari Rusia bernama Vitaly Bespalov yang berperan dalam propaganda di media sosial.
Aktivitas yang disebut sebagai online trolling--bisa diartikan sebagai aktivitas "memancing secara online"--bertujuan mengubah opini dan pandangan publik tentang suatu hal tertentu.
Kala itu, dalam sebuah video singkat, Vitaly menjelaskan bagaimana aktivitas trolling tersebut dilakukan untuk menyebarkan berita bohong dan membentuk opini masyarakat di beberapa negara, misalnya di Ukraina, AS, dan Jerman.
Tujuannya untuk menjatuhkan citra pemimpin-pemimpin negara itu di mata masyarakatnya, dan pada akhirnya menguatkan posisi politik Rusia, terutama Vladimir Putin, di hadapan negara tersebut.
Tidak jarang juga propaganda politik yang terjadi di sekitar kontestasi elektoral tersebut ditujukan untuk mendukung kandidat tertentu yang dianggap mampu mengakomodasi negara yang kini dipimpin oleh Presiden Putin itu.
Dalam konteks Indonesia, Pilpres 2019 secara tidak langsung berhubungan dengan kepentingan negara tersebut. Rusia punya banyak perjanjian kerja sama dengan Indonesia, termasuk di bidang alat utama sistem pertahanan, kereta api, minyak dan tambang.