Apalagi, Asia diprediksi akan menjadi center of the world's gravity atau pusat gravitasi peradaban dunia, sebagaimana salah satunya diungkapkan oleh ekonom AS Gary Becker, dan Asia Tenggara secara khusus, akan menjadi poros di dalamnya.
Dengan konteks "gemuruh" ekonomi-politik di Laut China Selatan, misalnya, negara seperti Rusia perlu jaminan untuk tetap menjadi pemain utama di dalamnya.
Oleh karena itu, memastikan kepentingan-kepentingannya tetap terjaga di Indonesia sebagai bagian dari poros gravitasi dunia di masa yang akan datang adalah sebuah keharusan bagi negara tersebut.
Artinya, kalau mau dicarikan irisannya, akan ada saja persilangan kepentingan yang sangat mungkin diperjuangkan juga oleh Rusia dan konteks tersebut membuat negara ini punya konsen dalam pergantian kekuasaan di negeri ini.
Namun, apakah isu di balik dua kata yang "melompat" dari mulut calon presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut bakal mencapai kondisi strategis itu?
Jika yang dimaksud Jokowi adalah cara-cara propaganda yang sering dipakai Rusia, apakah peluang pelakunya hanya ada di pihak lawan politiknya, yakni Prabowo Subianto-Sandiaga Uno? Atau, justru pihak Jokowi punya peluang untuk melakukan hal yang sama?
Tentu jawabannya sangat bergantung kepada pihak mana kita bertanya. Hampir bisa dipastikan, tidak akan ada satu pun pihak yang bersedia mengakui bahwa mereka menggunakan cara-cara kotor dalam memenangi kontestasi.
Namun, jika kita mencoba meraba peluang dan kapasitas para pihak dalam memainkan propaganda ala Rusia tersebut, semua pihak yang terlibat dalam kontestasi berpeluang melakukannya.
Tidak hanya pihak oposisi yang memang memiliki intensi untuk mengganggu citra penguasa, penguasa yang sedang berkuasa pun memiliki kapasitas dan peluang yang tak kalah besar untuk memproduksi "propaganda Rusia" untuk merontokkan pamor dan kredibilitas pihak oposisi.
Penguasa melalui jejaring otoritas dan media yang dimiliki jauh lebih berkapasitas untuk menebar kebohongan dan kebencian, bahkan dengan metode dan mekanisme yang juga jauh lebih sistematis dan terorganisasi.
Oleh karena itu, ada baiknya Jokowi dan tim pemenangannya lebih berhati-hati dalam menggunakan diksi dan terminologi agar tidak membangun pembelahan yang berujung pada dikotomi "insider" dan "outsider".
Model komunikasi yang diniatkan untuk medelegitimasi pihak kompetitor secara tidak sehat justru akan mengarahkan persepsi negatif publik kepada pemerintah sendiri, yakni berpotensi melahirkan anggapan "paranoid" di dalam persepsi publik.
Karena, pada ujungnya publik akan mengukur secara komparatif bahwa yang melakukan propaganda sebagaimana yang diperbandingkan oleh Tim Pemenangan Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin adalah Rusia sebagai sebuah negara yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan dan dikuasai secara politik oleh seorang penguasa yang legitimate menurut rule of the game negara tersebut.
Dengan perspektif komparatif tersebut, maka dengan mudah publik bisa mengembalikannya ke dalam negeri secara bulat-bulat bahwa yang memiliki kapasitas lengkap untuk melakukan hal yang sama di dalam negeri adalah institusi, lembaga, sesosok kepala institusi, dan supporting system-nya, yang setara dengan pembanding di atas.
Nah, dengan cara pandang yang demikian, maka istilah propaganda Rusia akan seketika bisa menjadi bola liar, yang sesaat bisa saja melekat di kerah baju oposisi, tapi sesaat selanjutnya bisa berpindah ke peci pemerintah yang sedang berkuasa.
Dalam konteks inilah, saya kira, Jokowi harus lebih hati-hati dalam melakukan politik "offensive", karena di satu sisi selain bisa berujung pada pergumulan tak sehat di antara sesama anak bangsa, di sisi lain juga bisa memantul ke muka sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.