JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengatakan, ujaran kebencian dan politisasi suku, agama dan ras (SARA) selalu ada menjelang pemilihan umum. Menurut dia, politisasi SARA salah satu yang sulit untuk diungkap.
"Politisasi SARA dirancang oleh aktor tertentu. Kita semua bisa merasakan, tapi tidak bisa kita jelaskan," ujar Afifuddin saat menjadi pembicara dalam konferensi nasional Ekuilibrium Penanganan Ujaran Kebencian dan Perlindungan Kebebasan Berekspresi di Indonesia, di Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Baca juga: Potensi Politik SARA di Pilkada 2018 Diyakini Minim, Kenapa?
Menurut Afifuddin, politik SARA sengaja dikapitalisasi agar publik memilih salah satu kandidat. Misalnya, menyarankan orang untuk memilih atas dasar golongan.
Kasus politisasi SARA yang cukup besar dan menjadi bahan pembelajaran, menurut Afifuddin, terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017.
Sejak saat itu, Bawaslu menggandeng semua tokoh agama untuk mengantisipasi kasus yang sama.
Afifuddin mengatakan, Bawaslu selalu membutuhkan perdebatan panjang dalam menindak kasus politisasi SARA.
Baca juga: Moeldoko Sebut 88,4 Persen Masyarakat Bicara SARA di Medsos
Setidaknya ada 6 hal yang dikaji oleh Bawaslu saat mendapat laporan politisasi SARA.
Proses pembuktian mulai dari mengidentifikasi identitas, konten dan bahasa yang digunakan. Kemudian, menghitung dampak dan membuktikan kausalitas ekspresi terhadap dampak yang ditimbulkan.
Selain itu, Bawaslu mengukur intensi dan jangkauan ujaran kebencian di masyarakat.