ICW mencatat, total kerugian negara dari kasus korupsi yang divonis mencapai Rp 29 triliun. Sementara, hukuman pidana denda dan uang pengganti hanya Rp 1,5 triliun.
Oleh karena itu, Adnan menekankan penegakan hukum yang memprioritaskan pemulihan aset bisa memiskinkan pelaku. Selain itu, perlu reformasi dan penguatan integritas lembaga penegak hukum.
Hal itu dinilainya bisa menguatkan efek jera bagi para pelaku.
Konsultan hukum dan praktisi pelacakan aset pidana Paku Utama mengatakan, ada tiga pekerjaan rumah yang perlu ditingkatkan Indonesia agar tindak lanjut perjanjian MLA dengan Swiss bisa berjalan maksimal.
"Pertama, setelah kita ratifikasi, ada PR untuk membuat MLA menjadi susah ditolak. Indonesia dalam arti domestiknya, upaya penanganan perkara atau pengembangan hasil investigasi, kita ngomong dari Pulbaket, penyelidikan sampai penyidikan itu bahannya harus lengkap," kata Paku.
Baca juga: RI Disebut Punya 3 PR agar Perjanjian MLA dengan Swiss Berjalan Optimal
Paku mencontohkan, saat penggeledahan, aparat penegak hukum menemukan komputer jinjing dan telepon seluler. Dari sana, aparat menemukan sejumlah bukti transfer perbankan dari wilayah Indonesia ke Swiss.
Bukti-bukti tersebut, kata Paku, perlu dilengkapi dengan bukti lainnya. Hal itu untuk memperkuat investigasi dalam penanganan perkara.
"Jadi, PR pertama itu, dalam negeri dulu. Kalau kita sebelum meminta bantuan, kita sendiri data-datanya harus sudah baik, kalau lemah negara lain juga mau bantu enggak maksimal," ujarnya.
Baca juga: Kerja Sama Antar-parlemen Perlu Dilakukan untuk Recovery Asset yang Dikorupsi
Kedua, kata Paku, jajaran penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus meningkatkan kualitas dan kuantitas jaringan kerja sama internasional dengan lembaga penegak hukum negara lainnya.
Sebab, Indonesia terkadang terkendala dengan urusan birokrasi yang memakan waktu. Kekuatan jaringan bisa mempercepat penanganan perkara.
Paku mencontohkan, aparat penegak hukum Indonesia bisa menjalin komunikasi informal dengan aparat penegak hukum negara lain untuk meminta bantuan, seperti tambahan data untuk penanganan perkara. Permintaan informal tersebut bisa ditindaklanjuti lewat jalur formal.
"Data itu baru menjadi sah kalau cara perolehannya juga sah. Jadi permintaan tidak resmi tidak dapat menjadi bukti yang sah di depan pengadilan. Tetapi teknik mendapatkan bukti yang cepat, efisien dan akurat bisa dengan informal dulu," kata dia.
Baca juga: Kejagung Kerja Sama dengan PT Pegadaian, dari Pemulihan Aset hingga Bantuan Hukum
Menurut dia, jaringan kerja sama Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dengan lembaga sejenis lainnya di negara lain sudah baik. Sehingga, hanya perlu dioptimalkan.
Ketiga, Paku menekankan pentingnya kemampuan negosiasi. Seringkali, aparat penegak hukum Indonesia harus berhadapan dengan negara tax haven. Regulasi negara tersebut sangat ketat dalam aturan kerahasiaan keuangan dan volume transaksi.
"Seringkali negara ini enggan mengembalikan uang ke negara korban. Kita harus bisa nego. Salah satu cara negosiasi paling kuat, kita pelajari domestic regulation dia. Ada enggak pengaturan pencucian uang. Kita cari pasal berapa ngomongnya benar enggak negara mereka tidak mentolerir pencucian uang?" ujarnya.
Baca juga: Aset 50 Orang ”Crazy Rich Indonesian” Capai Rp 1.870 Triliun
Ia mencontohkan, apabila investigasi perkara oleh penegak hukum Indonesia sudah kuat, namun negara lain tak membantu, aparat Indonesia bisa mengingatkan regulasi yang dimiliki negara tersebut.
"Cara kita negonya gmana? Kalau kamu seperti ini kita akan publikasikan, saya akan tanda kutip ngadu di forum internasional, bahwa negara kamu negara kaya dalam perbankan tapi uangnya hasil kejahatan," lanjut dia.
Ia mengungkapkan, contoh strategi itu pernah diterapkan Nigeria saat memburu aset hasil kejahatan mantan Presiden Sani Abacha yang tersimpan di Swiss.
"Waktu Nigeria mau mengembalikan uang Sani Abacha, negara Swiss enggak mau bantuin. Apa yang dilakukan? Dia ngadu ke forum internasional, salah satunya minta bantuan Amerika, akhirnya Swiss ngebantuin," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.