JAKARTA, KOMPAS.com - Maraknya kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan pemahaman dalam menuntaskan akar persoalan.
Sementara, pembangunan infrastruktur yang tengah digencarkan pemerintah dinilai belum menjadi solusi dalam memberikan perhatian terhadap masyarakat Papua.
Dalam survei online yang dilakukan Change.org pada akhir 2017 lalu terlihat bahwa pemerintah belum memahami apa yang diinginkan oleh masyarakat Papua.
"Jadi ada sebuah kesenjangan antara apa yang diinginkan masyarakat pada umumnya dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah," ujar Direktur Change.org Arief Aziz dalam diskusi bertajuk 'Posisi Papua di Peta Politik Indonesia' yang digelar Amnesty International Indonesia di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (14/2/2019).
Baca juga: Pemerintah Ingin Bangun Papua, tetapi Tak Berupaya Tuntaskan Kasus HAM
Arief menuturkan, survei terkait persoalan Papua itu diikuti oleh 27 responden yang terdiri dari orang papua asli, orang yang tinggal di Papua tapi bukan papua asli dan orang Indonesia yang tinggal di luar Papua.
Hasil survei menunjukkan adanya perbedaan persepsi soal Papua di antara ketiganya.
Pada saat ditanya apa masalah besar yang ada di Papua, orang di luar Papua menganggap pendidikan sebagai masalah terbesar.
Kemudian orang yang tinggal di Papua tapi bukan orang Papua asli mengatakan narkoba dan miras sebagai persoalan.
Baca juga: Tangani Kekerasan di Papua, Aparat Diminta Tetap Utamakan Prinsip HAM
Sedangkan orang Papua asli menyatakan masalah utama di Papua adalah pelanggaran HAM.
"Jadi gap itu real. Gap of understanding itu masih nyata. Orang belum paham atau pemahamannya belum selaras dengan orang-orang asli Papua," kata Arief.
Sementara itu, seluruh responden menyatakan setuju dan mendukung wacana dialog dalam menuntaskan masalah kekerasan di Papua.
Responden juga menganggap mekanisme dialog sebagai wacana yang sangat penting untuk memutus mata rantai kekerasan di Papua.
Banyaknya kasus dugaan pelanggaran HAM yang tak kunjung selesai dinilai telah menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Baca juga: Pemerintah Diminta Libatkan Warga Lokal dalam Upaya Pencegahan Kekerasan di Papua
Aktivis politik Papua Filep Karma mengatakan, saat ini masyarakat Papua cenderung tidak lagi percaya bahwa pemerintah berupaya untuk membangun Papua. Pasalnya, banyak kasus HAM di Papua yang belum diselesaikan.
"Jadi tidak ada lagi kepercayaan terhadap Pemerintah Indonesia. Siapapun presidennya kami sudah tidak percaya," ujar Filep.
Filep menilai, pemerintah bersikap munafik dengan menyatakan ingin membangun Papua. Namun di sisi lain tidak berupaya menuntaskan kasus HAM.
Bahkan pemerintah engggan untuk mengakui kasus kekerasan tersebut.
Baca juga: Setara Institute Desak Pemerintah Selesaikan Konflik di Papua Pasca Pembantaian Pekerja di Nduga
Sementara penuntasan kasus HAM dinilai menjadi salah satu cara untuk memutus mata rantai kekerasan di Papua.
"Saya melihat kasus papua yang berlarut-larut, saya mau katakan bahwa para pemimpin nasional indonesia pada umumnya munafik. Mereka tidak mau mengakui kebenaran dan kesalahan yang dibuat," kata Filep.
Pandangan Filep tersebut diperkuat oleh argumen dari anak-anak muda Papua yang hadir dalam diskusi tersebut.
Kasus kekerasan yang bertubi-tubi memunculkan gerakan untuk menentukan nasibnya sendiri atau pro kemerdekaan Papua.
Baca juga: Kapolri Sebut Konflik di Papua Dipicu Faktor Ekonomi
Selama ini mereka merasa dianaktirikan. Bahkan mereka mengaku sudah tidak percaya lagi jalan dialog dapat menyelesaikan akar masalah di Papua, yakni pelanggaran HAM.
Amnesty International Indonesia pernah merilis laporan investigasi terkait peristiwa kekerasan di Papua.
Berdasarkan laporan tersebut terdapat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua dalam rentang waktu Januari 2010 hingga Februari 2018.
Pelaku kekerasan didominasi aparat kepolisian dengan 34 kasus, lalu anggota TNI 23 kasus.
Baca juga: Norwegia dan Papua Barat Kerja Sama Tingkatkan Konservasi Hutan dan Laut
Sementara 11 kasus lain dilakukan bersama-sama oleh anggota Polri dan TNI. Sedangkan, satu kasus dilakukan oleh satuan polisi pamong praja.
Akibat tindakan kekerasan oleh aparat keamanan, sebanyak 85 orang etnis Papua meninggal dunia.
Sementara itu, diketahui bahwa mayoritas kasus kekerasan yang terjadi tidak berkaitan dengan seruan kemerdekaan atau tuntutan referendum Papua.
Artinya, kasus kekerasan di Papua oleh aparat keamanan umumnya dipicu oleh adanya insiden kecil.
Baca juga: KPK Cermati Sejumlah Dugaan Korupsi Terkait Proyek dan Anggaran di Papua
Dari 69 kasus kekerasan dalam rentan 8 tahun, hanya 28 kasus pembunuhan di luar hukum yang terkait aktivitas politik. Sedangkan sebanyak 41 kasus tidak berkaitan dengan seruan kemerdekaan.
Selain itu, investigasi terhadap laporan pembunuhan di luar hukum jarang terjadi.
Menurut Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, tidak ada mekanisme yang independen, efektif dan imparsial untuk menangani keluhan warga atas pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan.
Usman memaparkan, dari 69 kasus pembunuhan di luar hukum, hanya 6 kasus yang sampai ke pengadilan.
Baca juga: Petisi Referendum Kemerdekaan Papua Barat Diserahkan ke PBB, Ini Respons Menlu Retno
Sebanyak 25 kasus tidak dilakukan investigasi sama sekali, 26 kasus dinvestigasi, namun tidak dipublikasikan dan 8 kasus diselesaikan secara adat.
Usman berharap pemerintah mengakui adanya pelanggaran HAM yang serius dalam bentuk pembunuhan di luar hukum. Ia juga meminta pemerintah menyusun panduan bagi aparat keamanan untuk mencegah terjadinya kekerasan di Papua.
"Dan presiden ingin tanah Papua menjadi tanah yang damai," kata Usman.