JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid setuju dengan sikap Fraksi PKS yang menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Hidayat mengatakan RUU PKS tersebut tidak merujuk pada nilai-nilai agama. Padahal itu merupakan amanat dari Pancasila sebagai dasar negara.
"Dalam konteks negara ditegaskan bahwa dalam UUD Pasal 29 ditegaskan bahwa negara itu berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa atau kepada nilai agama. Harusnya itu yang jadi rujukan utama," ujar Hidayat di Kompleks Parlemen, Kamis (14/2/2019).
Baca juga: Ketua DPR: Terlalu Prematur kalau RUU PKS Ditolak
Hidayat mengatakan Fraksi PKS sejak awal sudah mengusulkan sejumlah perbaikan dalam RUU itu. Termasuk memasukan ketentuan Pancasila, UUD, dan mempertimbangkan nilai agama yang diakui di Indonesia sebagai rujukannya.
"Tetapi itu semua kan tidak diterima," kata dia.
Hidayat mengatakan, sedianya PKS menolak bentuk-bentuk pemerkosaan terhadap perempuan. Selain itu, PKS juga memiliki semangat untuk melindungi perempuan.
Namun, kata Hidayat, itu semua bukan berarti aturan bisa dibuat tanpa memperhatikan nilai-nilai di Indonesia.
Sebelumnya, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini juga menjelaskan alasan fraksinya menolak RUU PKS.
Jazuli menilai ketentuan mengenai definisi kekerasan seksual dan cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran.
Baca juga: RUU PKS Memuat Hal yang Tak Diatur KUHP, Bukan Mengatur Cara Berpakaian
Bahkan, kata Jazuli, berpretensi membuka ruang sikap permisif atas perilaku seks bebas dan menyimpang.
Adapun, definisi kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pasal itu menyatakan, "Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik".
Sementara, cakupan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 20.
Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan seksual terdiri dari:
a. pelecehan seksual;