"Dalam berpolitik, kita seharusnya menghindari segala jenis perilaku yang melibatkan ras dan agama. Ini bukan tentang kebenaran dalam berpolitik, ini masalah memahami kekuatan diri kita. Dunia menghormati kita bukan hanya karena 'gudang senjata' yang kita miliki, melainkan karena kemampuan kita untuk menerima keberagaman, keterbukaan pola pikir, serta penghormatan terhadap setiap keyakinan."
KIRA-KIRA begitulah makna dari kutipan sepenggal orasi pamungkas Barack H Obama dalam The State of the Union Address di tahun terakhir masa jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat pada 12 Januari 2016.
Politik, sebuah kata yang bisa jadi paling dihindari oleh sebagian besar orang yang menginginkan ketentraman hidup, tanpa adanya gangguan keharusan untuk memikirkan serta menomor satukan kemaslahatan bersama. Mengapa demikian?
Cukup jelas karena menurut teori klasik Aristoteles, politik adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang di dalam suatu negara (rakyat) dalam mencapai kemanfaatan kolektif (kebaikan bersama).
Namun, entah mengapa seiring dengan berjalannya waktu, politik memiliki pemaknaan yang semakin sempit, seperti activities aimed at improving someone's status or increasing power within an organization/government (dikutip langsung dari kanal online Oxford Dictionary).
Semua hal berbau politik selalu berujung pada kehidupan kaku pemerintahan beserta intrik-intrik di dalamnya.
Padahal, politik bisa jadi memiliki pemaknaan pembelajaran yang lebih umum, contohnya the art or science of government (dikutip dari Merriam-Webster).
Ada juga definisi seni dan ilmu pengetahuan di dalam pemerintahan, yang praktis bisa kita maknai sebagai politik.
Oke, mungkin sudah cukup mukadimah tentang makna umum politik. Selanjutnya, mari kita beralih pada topik yang sedikit lebih spesifik, yang juga sempat disinggung pada paragraf awal.
Pendidikan politik bagi warga negara, jelas tertulis di paragraf sebelumnya bahwa di dalam pemerintahan dan jalur menuju kedudukan dalam pemerintahan, baik secara tersurat maupun tersirat memiliki muatan seni dan ilmu pengetahuan.
Uniknya, jika kita sinkronisasikan dengan deskripsi kampanye pemilihan umum (pemilu), secara eksplisit Pasal 4 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2017 menyatakan bahwa kampanye merupakan wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab. Pendidikan politik yang dimaksud adalah untuk meningkatkan partisipasi pemilih di dalam pemilu.
Mengapa partisipasi pemilih sangat penting? Dalam The Civic Culture yang ditulis oleh Gabriel Almond and Sidney Verba (1963), mereka memaparkan tentang kepentingan tersebut secara ringkas tetapi mengena.
Gagasan-gagasan potensial dalam demokrasi adalah kebebasan perorangan dengan prinsip utama "pemerintahan yang berasal dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi".
Demi merealisasikan gagasan-gagasan tersebut, perlu adanya signifikansi pemikiran dan peran serta rakyat. Sehingga, apa yang menjadi kebijakan kolektif sebagai hasil akhir dalam pelaksanaan demokrasi adalah representatif dari kedaulatan rakyat di dalam sistem politik.
Maka dari itu, pemilu sebagai praktik pendidikan politik bagi warga negara menjadi topik yang seksi untuk dibahas melalui berbagai sudut pandang, termasuk tentang peran serta kaum muda di dalamnya.
Fenomena "cebong" dan "kampret" di zaman sekarang, yang di awal hanya memengaruhi generasi Baby Boomers dan Generasi X, tampaknya juga sudah mulai menjangkiti para Generasi Y dan Z.
Tentunya hal tersebut sangat disayangkan. Bisa jadi wajar bila para Baby Boomers atau Gen-X memiliki fanatisme berlebih kepada beberapa golongan maupun kubu-kubu tertentu di dalam sebuah kontestasi politik karena pola pikir mereka telah terbentuk secara matang melalui track record dan masa lalu dari golongan masing-masing.
Akan tetapi, kembali lagi jika kita benturkan dengan kutipan dari orasi Barack Obama di bagian paling atas tulisan ini, hal tersebut menjadi budaya yang sama sekali tidak dapat dianggap maklum. Apalagi jika fanatisme tersebut telah mengarah pada zona taqlid buta (ikut-ikutan tanpa daya kritis).
Di sinilah peran kaum muda, yang di tahun-tahun ini secara implisit diemban oleh pundak para Gen-Y dan Gen-Z, untuk menjadi agent of change, social control, iron stock, dan moral force (empat elemen peran dan fungsi mahasiswa, sebagai representatif kaum muda). Termasuk dalam hal pendidikan politik akbar lima tahunan bertajuk pemilihan umum.
Kaum muda memiliki peluang sangat besar dalam mengubah pola pikir dan memperkaya polarisasi dalam dunia politik yang berkembang di Indonesia. Bukan hanya bisa sekadar menulis status di media sosial dengan nada nyinyir, memanas-manasi, menyebarkan kampanye hitam, termasuk di dalamnya hate speech, maupun mengadu domba, meskipun apa yang diyakininya mungkin benar.
Dengan segala intelektualitas yang dimilikinya, kaum muda seyogianya mampu menjadi penengah, filter, serta golongan paling netral dalam menghubungkan segala "kepentingan" dan isu-isu yang berkembang di dalam masyarakat, untuk selanjutnya diolah dengan lebih cantik, obyektif (meski persuasif), dan dapat diterima akal sehat.
Intinya, di mana pun posisinya, kaum muda harus mau dan mampu mengambil peran di dalam tiap proses pendidikan politik penentu arah gerak Indonesia di masa depan, atau minimal di lima tahun mendatang.
Bagi yang nyaman menjadi tim sukses ataupun juru kampanye, silakan ambil peran itu! Akan tetapi, "bermainlah" dengan santun dan elegan.
Bagi yang tak ingin memihak, meski punya pilihan, silakan ambil peran-peran strategis yang netral dan mampu menjadi roda penggerak dalam mengakselerasi proses pendidikan politik dalam pemilu. Menjadi bagian dari KPU/Bawaslu, misalnya.
Sebagai contoh nyata, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) telah membuktikan bahwa kaum muda Indonesia mampu mengambil peran strategis yang netral dalam mengakselerasi proses pendidikan politik dalam pemilu.
Bagaimana bisa dibilang demikian? Terbukti, dari beberapa sampel keanggotaan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Luar Negeri (Panwaslu LN), organ-organ ad hoc yang berada di bawah naungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), berasal dari kaum-kaum muda.
Sebut saja Ketua PPLN Taipei dan Panwaslu LN Taipei, lalu ada juga ketua dan anggota Panwaslu LN Kuala Lumpur, Singapura, Hong Kong, dan Tokyo, mereka semua adalah mahasiswa-mahasiswi yang tengah menempuh studi pascasarjana (baik master maupun PhD) di luar Indonesia. Masih banyak lagi dari negara-negara lainnya.
Akan tetapi, atas dasar kecintaannya terhadap Indonesia serta keinginan untuk merealisasikan peran dan fungsi mahasiswa yang mereka emban, mereka memutuskan untuk mengambil peran strategis dalam pendidikan politik akbar lima tahunan.
Dengan demikian, setidaknya mereka dapat memberikan warna dan sudut pandang lain dibandingkan hanya larut dalam pusaran polarisasi fenomena "cebong" dan "kampret" yang tengah mewabah lewat "permainan-permainan" yang tak elok dipertontonkan di jagat maya maupun dunia nyata.
Jadi, sudahkah kalian menjadi bagian dari kaum muda dalam upaya pendidikan politik akbar bangsa Indonesia?
Rahmandhika Firdauzha Hary Hernandha
Mahasiswa PhD di Materials Science and Engineering, National Chiao Tung University (NCTU), Taiwan. Saat ini menjabat sebagai Ketua Panwaslu LN Taipei untuk masa kerja April 2018-2019.