JAKARTA, KOMPAS.com - Media sosial menjadi salah satu yang berperan dalam penyebaran informasi hoaks bahkan hingga ke desa-desa. Dampaknya begitu besar bahkan sampai pada persoalan intoleransi dan bibit radikalisme.
Gejolak-gejolak intoleransi yang disebabkan fitnah, isu penolakan rumah ibadah, hingga radikalisme berbasis kekerasan akhirnya mulai menjalar ke desa-desa.
Meski demikian, jawaban atas masalah intoleransi di Indonesia ini justru bermula dari desa-desa juga.
Baca juga: Toleransi yang Sebenarnya di Indonesia Bukan Hal Mustahil
Wahid Foundation, lembaga yang berprinsip meneruskan visi kemanusiaan Abdurrahman Wahid, memiliki program bernama forum NUSANTARA bekerja sama dengan UN Women.
Program ini membuat desa-desa di Indonesia berevolusi menjadi "desa damai". Fokus program ini adalah memberdayakan peran perempuan sebagai agen perdamaian dan toleransi di lingkungan masing-masing. Sekaligus berdaya di bidang sosial ekonomi.
"Mereka mendapatkan pelatihan dan penguatan nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Misal mengenai bagaimana cara mengatasi hoaks," kata Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, dalam peluncuran buku indikator desa damai di Hotel Sultan, Jumat (8/2/2019).
Baca juga: Toleransi yang Sebenarnya, Bisakah Terjadi di Indonesia?
9 desa damai
Dalam program ini, sudah ada 9 desa dan kelurahan di Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai desa atau kelurahan damai.
Di antaranya adalah Desa Tajurhalang dan Kelurahan Pengasinan di Jawa Barat, Desa Gemblegan dan Nglinggi di Jawa Tengah, Desa Guluk-gulik, Prancak, Payudan Dundang, Candirenggo, dan Sidomulyo di Jawa Timur.
"Melalui desa atau kelurahan damai, anggota masyarakat berkomitmen untuk melindungi dan menumbuhkan toleransi dan perdamaian di komunitas mereka," kata Yenny.
Baca juga: Toleransi dan Kerukunan Dinilai Membaik pada 2018
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.