JAKARTA, KOMPAS.com - Terdakwa mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Galaila Agustiawan mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas surat dakwaan jaksa.
Dalam eksepsi, penasehat hukum Karen menganggap jaksa keliru menafsirkan aksi korporasi sebagai korupsi.
"Jaksa keliru dengan menggolongkan perbuatan terdakwa yang sebetulnya merupakan aksi korporasi, guna pelaksanaan prinsip business judgement rule (BJR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas," ujar pengacara Karen, Soesilo Aribowo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Baca juga: Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Didakwa Rugikan Negara Rp 568 Miliar
Menurut pengacara, perbuatan yang merugikan keuangan negara belum tentu atau tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Sebab, hal itu bisa saja tergolong masalah perdata atau hukum adminitrasi negara atau maladministrasi.
Soesilo mengatakan, perbuatan Karen merupakan bagian dari aksi korporasi atas nama serta untuk kepentingan perseroan, PT Pertamina (Persero), bukan kepentingan pribadi.
Perbuatan Karen dan direksi merupakan keinginan Pertamina untuk meningkatkan cadangan dan produksi minyak mentah.
Baca juga: Didakwa Rugikan Negara Rp 568 Miliar, Ini Tanggapan Karen Agustiawan
Menurut Soesilo, hal itu sejalan dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2009 untuk menjamin kelancaran pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional.
"Artinya perbuatan terdakwa ini adalah bisnis murni sebagai pelaksanaan prinsip fiduciary duty jajaran direksi," kata Soesilo.
Selain itu, menurut Soesilo, perbuatan Karen sepenuhnya merupakan aksi korporasi sebagai pelaksanaan doktrin atau prinsip BJR dalam undang-undang perseroan terbatas.
Hal itu merupakan cermin kemandirian dan diskresi dari direksi perseroan dalam memberikan putusan bisnisnya.
Menurut Soesilo, prinsip tersebut sekaligus merupakan perlindungan bagi direksi dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Dalam surat dakwaan, Karen diduga telah mengabaikan prosedur investasi yang berlaku di PT Pertamina dan ketentuan atau pedoman investasi lainnya dalam Participating Interest (PI) atas Lapangan atau Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009.
Karen memutuskan melakukan investasi PI di Blok BMG Australia tanpa melakukan pembahasan dan kajian terlebih dulu.
Karen dinilai menyetujui PI tanpa adanya due diligence serta tanpa adanya analisa risiko yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan Sale Purchase Agreement (SPA).
Selain itu, menurut jaksa, penandatanganan itu tanpa persetujuan dari bagian legal dan Dewan Komisaris PT Pertamina.
Menurut jaksa, perbuatan Karen itu telah memperkaya Roc Oil Company Ltd Australia. Kemudian, sesuai laporan perhitungan dari Kantor Akuntan Publik Drs Soewarno, perbuatan Karen telah merugikan negara Rp 568 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.