JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil ketua Komisi VIII DPR RI Tubagus Ace Hasan Syadzily membantah anggapan bahwa substansi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) berpotensi menimbulkan sikap permisif atas perilaku seks bebas atau zina dan menyimpang.
Ace mengatakan, saat ini RUU PKS masih dibahas bersama pemerintah dan ia memastikan akan menghapus jika ada pasal-pasal yang berpotensi melanggar norma agama.
"Tidak benar jika ada pandangan yang berkembang selama ini bahwa RUU PKS akan diarahkan pada upaya memperbolehkan hubungan seksual suka sama suka (free sex) atau zina dan memperbolehkan hubungan sex sesama jenis," ujar Ace saat dihubungi, Rabu (6/2/2019).
"Hal itu tidak akan pernah ada dan kami pasti akan menghapusnya, baik secara eksplisit maupun implisit," kata dia.
Menurut Ace, Komisi VIII akan terus menerima masukan dari masyarakat dalam membahas RUU PKS.
Selain itu pihaknya akan menyinkronkan dengan undang-undang terkait, seperti UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, KUHP dan lain sebagainya.
Ia menegaskan bahwa RUU PKS bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada siapapun agar tidak mengalami kekerasan seksual, terutama pada perempuan, anak dan penyandang disabilitas.
Baca juga: PKS Tolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena Isinya Bersifat Liberal
"Oleh karena itu, kami akan fokus membahasnya pada aspek perlindungan, pencegahan dan rehabilitasi korban," tutur Ace.
Sebelumnya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini menilai ketentuan mengenai definisi kekerasan seksual dan cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran.
Bahkan, kata Jazuli, berpretensi membuka ruang sikap permisif atas perilaku seks bebas dan menyimpang.
"Definisi kekerasan seksual hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berprespektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran. Bahkan berpretensi membuka ruang sikap permisif atas perilaku seks bebas dan menyimpang," kata Jazuli saat dikonfirmasi, Selasa (5/2/2019).
Sikap Fraksi PKS ini, lanjut Jazuli, diperkuat oleh derasnya kritik dan penolakan dari tokoh-tokoh agama, para ahli, ormas, dan elemen masyarakat lainnya terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Baca juga: Ini Alasan PKS Tolak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Mereka menilai RUU tersebut berpotensi memberikan ruang bagi perilaku seks bebas dan perilaku seks menyimpang yang bertentangan dengan Pancasila dan norma agama.
"Atas dasar itulah, Fraksi PKS semakin mantap dan yakin untuk menolak draf RUU tersebut serta akan menempuh langkah konstitusional agar DPR membatalkan pembahasan RUU tersebut," kata Jazuli.
Definisi kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pasal itu menyatakan, "Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik".
Sementara, cakupan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 20.
Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan seksual terdiri dari:
a. pelecehan seksual;
b. eksploitasi seksual;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan aborsi;
e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan;
g. pemaksaan pelacuran;
h. perbudakan seksual; dan
i. penyiksaan seksual.
Sedangkan Pasal 11 ayat (2) menyatakan, "Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam dan situasi khusus lainnya".