Namun, NU kemudian keluar dari Masyumi pada 1952 akibat ada ketidakpahaman. Langkah ini menjadikan NU lebih leluasa untuk menarik pendukung untuk menghadapi kontestasi politik pada 1955.
Akhirnya, Pemilu 1955 memantapkan posisi NU sebagai pemenang ketiga dalam pemilu. Wakil-wakilnya juga berhasil mendukuki sejumlah kabinet pemerintahan ketika itu.
Dalam Pemilu 1971, NU bahkan berhasil pada urutan kedua di bawah Golkar. Mereka akhirnya menikmati fasilitas dan kemudahan dari pemerintah ketika itu.
Namun konsep ini pun menjadi kendala ketika Soeharto menerapkan asas tunggal dalam partai politik dengan menyederhanakan peserta menjadi Golkar, PPP, dan PDI.
Akibatnya, anggota NU banyak yang berafiliasi ke dalam PPP untuk kepentingan politiknya.
Menjelang pelaksanaan Muktamar ke-27, para pemimpin NU terbelah menjadi dua kubu. Dilansir dari nu.or.id, Kubu Cipete bermuara pada Ketua Umum PBNU KH Idham Cholid dan kubu Situbondo yang bermuara KH.R. As'ad Syamsul Arifin.
Kondisi ini terjadi sepeninggal Rais mereka meninggal, yakni Bisri Syansuri pada 1980. Akibatnya, kedua kubu membuat munas masing-masing.
Kubu Situbondo menggelar Munas dengan menunjuk Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai ketua panitia Muktamar ke-27. Kubu Cipete juga tak kalah menggelar Munas dengan menunjuk Cholid Mawardi sebagai ketua panitia.
Dalam suasana politik Orde Baru, pemerintah lebih mengakui hasil Munas Situbondo karena dianggap lebih konseptual ketimbang Cipete yang dianggap bermuatan politik.
Namun setelah melihat sikap pemerintah mendukung kubu Situbondo, kubu Cipete mulai melunak. Akhirnya, kubu ini disatukan pada September 1984.
Keputusan NU menjadi partai pada 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan ke arah politik praktis. Namun, setelah Muktamar ke-27 Situbondo, akhirnya Nahdliyin menyepakati agar NU keluar dari politis praktis.
Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 4 Februari 1986, Muktabar Situbondo menetapkan NU untuk melepaskan dirinya dari kegiatan politik praktis.
Walaupun sulit, namun PBNU ketika itu menyepakati upaya tersebut dengan konsekuensi kegiatan politik menjadi urusan masing-masing anggota.
Namun setelah reformasi 1998, banyak partai yang mengatasnamakan NU sebagai senjata dalam kontestasi politik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.