ISTILAH "golongan putih" (golput) belakangan menyeruak lagi menjelang perhelatan Pemilu 2019. Penggunaan istilah tersebut secara umum dikaitkan dengan angka partisipasi alias penggunaan hak pilih dalam pemilu.
Secara sederhana, semua hak pilih yang tak terpakai selama ini disebut sama rata sebagai golput. Setiap kali pemilu digelar, golput selalu ada. Karena, angka partisipasi pemilu juga tidak pernah 100 persen.
Namun, sebenarnya golput tidak satu macam. Ada setidaknya dua jenis golput jika dilihat dari latar belakangnya. Kedua jenis golput tersebut juga memiliki makna politik yang berbeda, meski sama-sama disebut golput.
Pertama, golput karena persoalan teknis. Misalnya, pemilih tidak bisa hadir ke tempat pemungutan suara (TPS) karena sesuatu hal, termasuk memilih berlibur karena hari pemilu dinyatakan sebagai libur nasional.
Golput teknis lebih karena faktor persoalan apatisme politik. Mereka tidak mau ikut pusing dalam persoalan publik, termasuk politik yang sesungguhnya mempunyai dampak besar dalam urusan publik.
Kedua, golput yang dilakukan dengan kesadaran karena pemilik hak pilih menilai tidak ada kontestan yang pantas untuk diberi mandat.
Karena tidak ada kandidat yang layak, sikap politik golput dipilih sebagai protes terhadap pilihan kontestan yang terbatas.
Baca juga: JEO-Sekali Lagi, Jokowi vs Prabowo di Pemilu Presiden
Golput semacam ini kerap disebut golput ideologis, karena memiliki argumentasi yang kuat dan masuk akal.
Alasan golput ideologis bukan karena apatisme, melainkan karena kesadaran politik. Karena itu, hak politiknya untuk tidak memilih digunakan sebagai bentuk protes politik.
Tentu, penyebab golput ideologis bukan semata karena faktor kandidat yang dinilai tidak layak dan ideal untuk diberikan mandat, melainkan juga karena sistem politik kita yang membelenggu sehingga menutup kemungkinan tokoh alternatif untuk tampil dalam kontestasi.
Ketentuan di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu nasional sebelumnya sudah jelas mengecilkan peluang munculnya tokoh alternatif.
Selain itu, bisa jadi memang ada konsolidasi oligarki politik yang makin menggumpal dalam dua kutub politik.
Menengok sejarah, istilah golput baru muncul menjelang Pemilu 1971 yang dihelat pada 5 Juli 1971. Ini adalah pemilu pertama di Orde Baru. Peserta pemilu pada waktu itu mengerut dibandingkan pesta demokrasi sebelumya pada 1955.
Partai politik peserta Pemilu 1971 jauh lebih sedikit ketimbang Pemilu 1955. Ini karena beberapa parpol dibubarkan, antara lain Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Golput sejatinya merupakan sikap politik dalam merespons perhelatan elektoral atau pemilu. Sikap ini sebagai protes baik terhadap sistem maupun alternatif pilihan yang dipandang tidak ada yang kredibel untuk layak dipilih.