Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Kendala Pemecatan PNS Koruptor Menurut BKN

Kompas.com - 28/01/2019, 11:07 WIB
Devina Halim,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan membenarkan bahwa pemecatan pegawai negeri sipil (PNS) terkesan lambat.

Pernyataan ini menanggapi Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah yang menyayangkan lambannya pemecatan PNS koruptor.

Menurut data KPK, dari 2.357 PNS yang telah divonis korupsi melalui putusan berkekuatan hukum tetap, baru 891 yang diberhentikan secara tidak hormat.

Ridwan mengatakan, kecepatan proses pemecatan PNS yang korupsi tergantung pada pejabat pembina kepegawaian (PPK).

Baca juga: 5 Kementerian yang Belum Pecat PNS Koruptor

"PPK itu menteri, Kepala LPMK, kalau di pusat, kalau di daerah itu gubernur, wali kota, bupati. Jadi kecepatannya tergantung dari mereka-mereka semua, kalau mereka lambat menandatangani ya enggak bisa," ujar Ridwan saat dihubungi Kompas.com, Senin (28/1/2019).

Ia mengakui, ada beberapa kendala dalam pemecatan PNS koruptor.

Pertama, adanya keengganan dari PPK untuk melakukan pemecatan karena kasus korupsi yang menjerat ASN tersebut terjadi di luar kepemimpinan mereka.

"Masalahnya sebenarnya berada di luar periode kepemimpinan bapak gubernur, wali kota, bupati itu, jadi mereka (PPK) enggan, 'Ini kan masalah lama kenapa kita yang harus beresin'," kata Ridwan.

Baca juga: KPK Tagih Keseriusan Pimpinan Lembaga Negara soal Pemecatan PNS Koruptor

BKN menyampaikan kepada PPK terkait bahwa ketika putusan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) harus dilaksanakan.

Kendala kedua, adanya putusan yang sudah inkracht, tetapi tidak diterima oleh PPK terkait.

Kendala terakhir, alasan kemanusiaan atau merasa kasihan terhadap PNS tersebut.

Namun, ia mengatakan, rasa kemanusiaan tidak dapat digunakan sebagai alasan karena putusan tersebut sudah sah di mata hukum.

"Rasa kemanusiaan atau niat baik seseorang sudah diputus oleh hakim ketika memutus inkracht," ujar dia.

Baca juga: KPK: Pemecatan PNS Koruptor Lamban, dari 2.375 Baru 891 yang Diberhentikan

Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengungkapkan, pemecatan aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri sipil (PNS) yang terbukti korupsi berjalan lambat.

Padahal, pemberhentian PNS koruptor sudah menjadi komitmen pemerintah.

Dari data KPK, dari 2.357 PNS yang telah divonis korupsi melalui putusan berkekuatan hukum tetap, baru 891 yang diberhentikan secara tidak hormat.

"KPK menerima informasi dari BKN tentang masih lambatnya proses pemberhentian PNS yang telah terbukti korupsi. Hal ini disebabkan mulai dari keengganan, keraguan, atau penyebab lain para PPK (pejabat pembina kepegawaian)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Minggu (27/1/2019), seperti dikutip Antara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Nasional
PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com