Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perburuan Liar Jadi Hambatan Pelestarian Ekosistem di TN Komodo

Kompas.com - 25/01/2019, 11:53 WIB
Christoforus Ristianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat pelestarian ekosistem di Taman Nasional (TN) Komodo tidak berjalan dengan baik.

Hal itu dikarenakan penegakan hukum yang tidak cepat dalam memberantas perburuan ilegal terhadap rusa, kerbau, dan mata rantai makanan lainnya.

"Paling penting itu adalah penegakan hukum. Sampai sekarang belum ada satu pun yang ditangkap terkait maraknya perburuan ilegal seperti rusa dan mata rantai makanan lainnya. Ini salah satu yang paling penting di samping revitalisasi," kata Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Timur (NTT) Umbu Wulang Tanaamah Paranggi ketika dihubungi via telepon, Jumat (25/1/2019).

Baca juga: KLHK: Soal Penutupan Taman Nasional Komodo Perlu Pembahasan Terperinci

Umbu merespons rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT yang akan menutup TN Komodo untuk revitalisasi. Menurutnya, rencana tersebut sejatinya diimbangi dengan penegakan hukum terhadap perburuan liar yang terjadi selama ini.

Berdasarkan pengakuan warga yang ditemui Walhi, perburuan liar ilegal sudah terjadi sejak tahun 1990-an. Namun, informasi itu baru mencuat pada tahun 2000-an.

"Ada kasus yang berhasil ditangkap, tapi setelah itu tidak ada lagi kabar ke masyarakat terkait bagaimana proses penegakan hukum terhadap pelakunya," tegasnya.

Baca juga: Peningkatan Wisatawan ke TN Komodo Disebut Berdampak ke Ekonomi Daerah

Salah satu kemungkinan mengapa perburuan liar terjadi, karena rakyat sekitar TN Komodo juga membiarkan atau bahkan terlibat dengan alasan kebutuhan ekonomi dengan menjual kulit rusa, kerbau, dan hewan lainnya.

Umbu memaparkan, proses sosialisasi ke masyarakat oleh Pemprov NTT tentang pentingnya mata rantai makanan komodo juga praktis tidak ada. Padahal, hal itu penting agar masyarakat juga ikut mengawasi perburuan liar.

"Akar masalahnya di sistem yang parsial dan sektoral. Maka dari itu, sistem tidak berjalan maksimal yang membuat celah terjadinya perburuan liar dan pengerusakan di Taman Nasional Komodo," tuturnya.

Baca juga: Wacana Penutupan Taman Nasional Komodo Masih Dibicarakan KLHK dengan Pemda

Tak pelak, lanjutnya, daya dukung ekosistem di TN Komodo terus mengalami penurunan mulai dari mata rantai makanan hingga lingkunganya.

"Ini akan berbahaya bagi kelangsungan komodo dan kehidupan masyarakat setempat. Upaya Pemprov ini sebenarnya adalah evaluasi bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) bahwa selama ini ada yang keliru dalam pengelolaan Taman Nasional Komodo," imbuhnya kemudian.

Baca juga: Isu Ditutup, KLHK Sebut Wisatawan Tetap Bisa Liburan ke Taman Nasional Komodo

Lebih jauh, ujar Umbu, selain perburuan liar, pelestarian TN Komodo juga makin terhambat karena adanya wacara pembangunan villa dan hotel di kawasan tersebut yang tidak ramah lingkungan.

"Berpotensi makin rusaknya ekosistem komodo akibat aktivitas pariwisata yang tidak ramah lingkungan," pungkasnya.

Sebelumnya, Gubernur NTT Viktor Lasikodat menyebut revitalisasi menjadi alasan utama dirinya menutup Taman Nasional Komodo.

"Pulau Komodo ini kita revitalisasi sehingga menjadi taman yang indah, kemudian rantai makan seperti kerbau dan rusa itu selalu tersedia dan banyak," ucapnya.

Baca juga: Menteri LHK Tegaskan Gubernur NTT Tak Bisa Langsung Tutup TN Komodo

Halaman:


Terkini Lainnya

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com