JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi I DPR RI Roy Suryo menyayangkan wacana pembebasan narapidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir sudah dilontarkan padahal belum ada keputusan pasti.
"Kami agak menyayangkan kemarin kalau sebuah keputusan yang belum matang kemudian sudah diucapkan, kasihan presiden kan sebenarnya," kata Roy saat ditemui di kantor Indikator, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019).
Baca juga: 5 Poin Isi Pertemuan Kuasa Hukum Baasyir dan Fadli Zon
Menurut Roy, Indonesia perlu mempertimbangkan sejumlah hal terkait keputusan tersebut. Namun, hal utama yang perlu dipikirkan adalah aspek hukumnya.
Ia mengatakan, jika seseorang ingin keluar dari lembaga pemasyarakatan, harus memenuhi aturan yang berlaku, seperti menjalani dua pertiga masa hukuman serta menandatangani janji setia terhadap Pancasila.
"Terutama soal hukumnya, seseorang kan bisa dibebaskan kalau misalnya sudah menjalani dua pertiga dari masa hukumannya dan salah satu syarat yang ada, kita semua sepakat bahwa harus loyal terhadap NKRI terutama Pancasila," jelasnya.
Baca juga: Pembebasan Baasyir Hak Presiden, Peneliti Ingatkan Tak Boleh Tabrak Hukum
Selain itu, catatan-catatan dari berbagai pihak menurutnya juga perlu diperhatihan oleh pemerintah, seperti dari para pakar maupun dari negara lain.
Roy mengatakan, perbedaan pendapat di jajaran pemerintah pun membuat masyarakat bertanya-tanya.
Awalnya, Presiden Joko Widodo dikatakan menyetujui pembebasan tanpa syarat untuk Ba'asyir.
Baca juga: Fadli Zon Sebut Pembebasan Baasyir Berawal dari Manuver Politik
Namun, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menegaskan, pembebasan Ba'asyir membutuhkan pertimbangan dari sejumlah aspek terlebih dahulu.
Setelah itu, pihak Istana mengumumkan pembebasan tersebut batal diberikan. Akan tetapi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyebut bahwa pembebasan Ba'asyir masih dikaji.
"Ini kan membuat masyarakat bertanya-tanya," tutur dia.
Baca juga: Pengacara: Jika Niat Menolong, Baasyir Minta Diberikan Remisi Saja
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah memperhatikan masukan dari berbagai pihak agar keputusan yang diambil menjadi yang terbaik bagi publik dan negara.
Polemik ini, kata Roy, diharapkan menjadi pembelajaran untuk pemerintah agar mengkaji sebuah keputusan secara lebih mendalam.
"Menurut saya pelajaran mahal lagi yang didapat, jangan terlalu cepat memutuskan sesuatu tanpa melihat ke belakang secara penuh," ungkapnya.
Hingga saat ini, pemerintah Indonesia masih tarik ulur terkait pembebasan Ba'asyir. Berita pembebasan Ba'asyir awalnya dibeberkan oleh penasihat hukum pribadi Jokowi, Yusril Ihza Mahendra.
Baca juga: Polemik Pembebasan Baasyir: Antara Kemanusiaan dan Hukum
Ketika pernyataan Yusril dikonfirmasi kepada Presiden Joko Widodo, ia membenarkan bahwa telah menyetujui pembebasan Ba'asyir.
Menurut Jokowi, Baasyir dibebaskan karena alasan kemanusiaan. Sebab, pimpinan dan pengasuh pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo itu sudah berusia 81 tahun dan sudah sakit-sakitan.
"Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan, artinya beliau kan sudah sepuh. Termasuk ya tadi kondisi kesehatan," kata Jokowi usai meninjau pondok pesantren Darul Arqam, di Garut, Jumat (18/1/2018) siang.
Baca juga: Soal Protes Negara Lain Terkait Pembebasan Baasyir, Pemerintah Diminta Perkuat Komunikasi
Berbagai kritik bermunculan terkait keputusan itu karena dinilai tidak memiliki landasan hukum.
Kemudian, pada Senin (21/1/2019) malam, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menggelar jumpa pers mendadak di kantornya.
Wiranto menegaskan, pembebasan Ba'asyir membutuhkan pertimbangan dari sejumlah aspek terlebih dahulu.
"(Pembebasan Ba'asyir) masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya. Seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, hukum dan lain sebagainya," kata Wiranto membaca naskah siaran pers.
Baca juga: Menurut Kuasa Hukum, Syarat Ikrar Setia NKRI Tak Dapat Diterapkan bagi Baasyir
Keesokan harinya, Selasa (22/1/2019), Presiden Joko Widodo meluruskan polemik mengenai wacana pembebasan terpidana kasus terorisme Ustaz Abu Bakar Ba'asyir.
Presiden menegaskan, pemerintah pada intinya sudah membuka jalan bagi pembebasan Ba'asyir, yakni dengan jalan pembebasan bersyarat. Akan tetapi, Ba'asyir harus memenuhi syarat formil terlebih dulu, baru dapat bebas dari segala hukuman.
Masih di Istana pada hari yang sama, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan bahwa saat ini permintaan pembebasan bersyarat atas Abu Bakar Ba'asyir tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah.
Baca juga: Protes Australia terkait Pembebasan Baasyir Dinilai Wajar
Sebab, Ba'asyir tidak mau memenuhi syarat formil yakni menandatangani surat yang menyatakan ia setia pada NKRI.
"Iya (tidak dibebaskan). Karena persyaratan itu tidak boleh dinegosiasikan. Harus dilaksanakan," ujar Moeldoko.
Namun tak lama kemudian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly kembali memberikan pernyataan yang berbeda.
Baca juga: Pengacara Baasyir: Yusril Datang ke Lapas sebagai Pengacara Jokowi-Maruf
Saat memberikan keterangan pers di kantornya, Selasa (22/1/2019) malam, Yasonna menyebut bahwa pembebasan Ba'asyir masih dikaji.
"Sama dengan penjelasan yang disampaikan oleh Menko (Menkopolhukam Wiranto), kita sudah rapat kemarin membahas isu ini," kata Yasonna.
"Masih melakukan kajian yang mendalam dari berbagai aspek tentang hal ini. Hukum dan juga secara ideologi seperti apa konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia-nya, keamanannya dan lain-lain. itu yang sekarang sedang digodok dan sedang kita bahas secara mendalam," lanjut dia.
Baca juga: Pembebasan Baasyir Ditunda, Keluarga Kecewa
Abu Bakar Baasyir divonis 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 2011. Putusan itu tak berubah hingga tingkat kasasi.
Ba'asyir yang merupakan pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jateng, itu terbukti secara sah dan meyakinkan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.