JAKARTA, KOMPAS.com - Kajian yang dilakukan Setara Institute menunjukkan bahwa pemerintah tak satu padu dalam menjalankan kebijakan dan program untuk meminimalisasi penyebaran intoleransi dan radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Hal itu diungkapkan peneliti Institute Noryamin Aini saat menyampaikan hasil riset “Penguatan Peran APIP dalam Mencegah dan Melawan Radikalisme di Internal Institusi Pemerintah”.
Kajian tersebut dilakukan pada September hingga awal 2019.
Noryamin mengungkapkan, pemerintah belum "bergigi" dalam melakukan penindakan terhadap ASN yang diduga terlibat intoleransi dan radikalisme.
Baca juga: Perempuan Pekerja Sebut Intoleransi Jadi Ancaman Nyata bagi Perempuan
Ia menyebutkan, penegakan kode etik untuk memberikan sanksi berupa pemberhentian PNS yang terpapar radikalisme jauh lebih susah.
“Tidak mudah menghukum (PNS) orang yang terindikasi bersikap intoleran dalam bentuk perilaku keseharian,” kata Noryamin di Hotel Ibis, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019).
Padahal, sudah ada UU dan tiga peraturan pemerintah yang bisa digunakan untuk pintu masuk penanganan intoleransi dan radikalisme di lingkungan ASN.
Misalnya, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS; PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah (SPIP), dan PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Baca juga: Sikap Intoleransi akan Gerus Nilai Kebangsaan
Akan tetapi, Noryamin menilai, UU dan PP yang ada tidak secara eksplisit menyebutkan tentang pencegahan intoleransi dan radikalisme.
"Peraturan yang ada berkaitan dengan sistem pengawasan internal pemerintah itu terlalu berfokus pada model sifatnya tradisional,” kata dia.
Pengawasan bersifat nasional yang dimaksudnya adalah berbasis pada audit kinerja keuangan dan audit kepegawaian yang belum menyasar pada audit ideologi seorang PNS.
“Kalau ada indikasi penyimpangan, ada indikasi keterpaparan PNS dalam konteks radikalisme maka bisa digunakan model audit ketiga (audit ideologi),” kata Noryamin.
Noryamin mengatakan, sebenarnya ada empat organ pemerintah dan dua kelompok independen yang memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja dan disiplin ASN.
Di lingkungan pemerintahan ada Lembaga Administrasi Negara yang berfokus pada penyelenggara pendidikan, penyiapan kurikulum, dan pembinaan SDM ASN.
Baca juga: Menag: Cegah Intoleransi, Guru Besar Perlu Terjun ke Masyarakat, Bicara di Media Sosial
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang bertugas membentuk kebijakan kepegawaian, lalu Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), serta Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
“Komisi Aparatur Sipil Negara yang bertugas mengawasi kalau ada terjadi penyimpangan dari perilaku-perilaku Aparatur Sipil Negara,” kata Noryamin.
Peneliti lainnya, Nadia Fausta memberikan catatan, belum adanya sistem atau instrumen yang mengatur rekrutmen CPNS dan memilih calon pejabat.
Menurut Nadia, diperlukan suatu instrumen untuk rekrutmen ASN yang baru saja dilakukan pemerintah.
“Rekrutmen merupakan tahapan yang sangat penting untuk mencegah radikalisme di pemerintahan, karena kalau dari bibitnya saja tidak disaring dengan baik bagaimana nanti mencegah,” kata Nadia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.