SEDIKITNYA ada dua tujuan dilaksanakannya debat calon presiden dan wakil presiden 2019-2024.
Pertama, publik dapat melihat sejauh mana visi-misi pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Makruf Amin maupun nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga Uno dalam rencananya memimpin Indonesia.
Kedua, menjadi referensi bagi swing voters, pemilih pemula untuk menentukan pilihannya.
Tujuan pertama mungkin terwujud. Indikatornya, jalan-jalan Jakarta bertambah macet pada 17 Januari 2019 karena rata-rata warga ingin pulang pada jam yang hampir bersamaan untuk menonton debat pertama Pemilihan Presiden 2019.
Acara nonton bareng juga dilaksanakan di beberapa titik. Dunia maya gegap gempita, debat capres viral. Warganet aktif berkomentar, membuat meme baik apresiasi maupun sindiran kepada masing-masing calon terkait jawaban serta pernyataan yang disampaikan.
Harapan publik akan adanya pemaparan visi-misi dan rencana kedua pasangan calon (paslon) jika diberi amanah memimpin dalam konteks penegakan hukum, hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan terorisme berakhir antiklimaks, kendati kisi-kisi pertanyaan sudah disampaikan jauh sebelum debat.
Publik justru disuguhi debat normatif, mengedepankan ego dan perasaan masing-masing kandidat, bahkan ada yang beranggapan bahwa ini layaknya obrolan biasa yang tidak jelas juntrungannya dengan biaya termahal.
Pada isu hukum, misalnya. Belum ada upaya konkret dari kedua calon terkait permasalahan hukum yang selama ini terjadi. Contohnya tumpang tindih aturan dan kewenangan serta semakin menguatnya tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat yang akhir-akhir ini semakin menguat, preksekusi, dan intimidasi.
Justru yang muncul adalah ego. Misalnya pasangan Jokowi-Ma'ruf, yang menyindir lawannya dengan menggunakan kasus operasi plastik sebagai tindakan reaksioner.
Adapun Prabowo-Sandi merasa bahwa hukum berat sebelah, dengan menganalogikan kasus kepala desa di Jawa timur yang ditahan karena mendukungnya, sementara kepala daerah lain yang jelas mendukung Jokowi-Makruf lepas dari hukuman.
Publik dipaksa melihat seolah-olah penduduk Indonesia hanya terdiri dari dua kubu, pendukung 01 dan 02.
Padahal, kasus-kasus hukum yang terjadi di masyarakat lebih layak ditampilkan. Ambillah contoh kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, preksekusi atas nama agama dan golongan, diskriminasi terhadap pelaku tindak kejahatan yang masih melihat status sosial. Demikian pula kasus-kasus lain yang dialami oleh sebagian warga negara.
Harusnya publik disajikan bagaimana upaya-upaya pencegahan agar tindakan pelanggaran hukum, kriminalisasi, sehingga memberikan rasa aman bagi seluruh warga negara, bukan hanya golongannya.
Bagaimanapun, mereka akan menjadi Presiden Republik Indonesia, bukan hanya presiden bagi cebong (istilah untuk pendukung Jokowi-Ma'ruf) atau kampret (istilah untuk pendukung Prabowo-Sandi) saja.
Dari sisi pelanggaran HAM juga demikian. Alternatif solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan HAM masa lalu juga tidak konkret.