Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi

Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Masyarakat Impersonal

Kompas.com - 17/01/2019, 21:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MEMASUKI tahun politik, ada indikasi solidaritas bangsa ini mulai tumpul, masyarakat makin acuh tak acuh terhadap sesama. Bahkan, sebagian tak segan mencaci-maki siapa pun yang dinilai tidak sepaham. 

Jangankan berbicara soal kepedulian terhadap penderitaan dan nasib orang lain. Hanya gara-gara dipicu soal-soal yang sepele, bukan tidak mungkin ujung-ujungnya akan berakhir dengan diwarnai aksi bullying, mengedepannya ujaran kebencian, dan jika perlu aksi anarkis yang merusak tatanan sosial karena merasa dirinya paling benar.

Aku dan kelompokku-lah yang paling benar, sedangkan di pihak lain adalah kumpulan lawan yang najis untuk disapa, apalagi dijadikan sahabat.

Tidak sekali dua kali terjadi, hanya karena urusan yang sepele tiba-tiba menjadi api yang membesar, yang melahap apa pun yang ada di sekitar kita. Seperti api dalam sekam yang tiba-tiba meranggas karena siraman syakwasangka, dendam-kesumat, kebencian, dan keangkuhan.

Solidaritas yang mulai goyah, dan fondasi kebersamaan yang di dalamnya rapuh, jangan kaget jika hasilnya adalah kerentanan sosial.

Tipe masyarakat tradisional yang konon digambarkan serba guyub, selalu saling menyapa satu dengan yang lain, dan bergotong-royong, ada kesan kuat itu hanya ada di cerita dan legenda.

Sebagai sebuah bangsa yang kerapkali dalam pidato pejabat diklaim sebagai bangsa yang solidaritasnya tinggi, suka tolong-menolong, kini mencari contoh solidaritas sosial itu dalam kehidupan nyata ternyata makin sulit.

Jangankan mau menolong orang-orang yang papa, belakangan ini yang namanya solidaritas dan kepedulian sepertinya makin langka. Atas nama persaingan bebas dan kebutuhan untuk ekspansi, menjadi hal lazim jika para pengusaha tidak lagi peduli kesejahteraan para pekerjanya.

Atas nama ikatan dalam in-group dan kesamaan identitas serta ideologi, kini makin sering terjadi orang bersikap intoleran terhadap kelompok yang dinilai berbeda. Mungkinkah kehidupan yang harmonis, toleran dan saling peduli kembali bersemi di tahun mendatang?


Masyarakat Impersonal

Banyak orang psimistis bahwa di tahun politik, suasana yang terbangun adalah suasana yang serba damai, dan harmonis. Sebuah bangsa yang terpolarisasi dalam kontestasi politik yang tajam, niscaya akan dihadapkan pada banyak tantangan.

Bukan tidak mungkin gradasi sikap intoleran dan sensitivitas menghadapi pergesekan akan makin meningkat, dan yang namanya kesabaran lantas menjadi makin langka.

Ketika hubungan sosial yang berkembang di masyarakat makin kontraktual dan impersonal, maka intoleransi niscaya akan membatu, dan syakwasangka akan lebih mengedepan.

Alih-alih menumbuhkan sikap saling percaya dan menghormati satu dengan yang lain, dalam kenyataan kemungkinan yang timbul adalah rasa saling curiga, bahkan sikap saling membenci satu dengan yang lain tanpa alasan yang jelas.

Di tengah kerumunan, ketika seseorang tidak mengenal satu dengan yang lain, bukan tidak mungkin rasa tidak suka itu tiba-tiba muncul. Seperti musibah gempa bumi dan tsunami, tidak seorang pun menduga kalau warga masyarakat yang dari luar tampak biasa saja, bahkan santun dan agamis, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat.

Matanya memerah, ulahnya beringas, nafasnya memburu, dan kepalan tangannya menghantam siapa saja yang dianggap bukan kelompoknya.

Masyarakat yang impersonal adalah masyarakat yang warganya satu dengan yang lain tidak memiliki ikatan dan fondasi solidaritas yang kuat. Mereka mungkin saja tinggal di wilayah yang sama, bahkan mungkin bertetangga.

Tetapi, hanya karena dipicu isu yang sepele, sekadar bersenggolan badan, terserempet mobil, atau kerena memakai atribut yang berbeda, tiba-tiba saja mereka menjadi musuh yang saling berhadapan.

Fakta bahwa mereka bertetangga sama sekali tidak bermakna. Perbedaan ideologi yang mengenal, atau perbedaan warna kulit yang menjadi dosa warisan penjajah kolonial, sering menyebabkan bangsa ini tersegregasi, bahkan terpolarisasi dalam perbedaan yang makin meruncing.

Masyarakat yang impersonal berbeda dengan masyarakat yang personal. Di masyarakat yang impersonal, relasi sosial yang terbangun biasanya mulai memudar. Mereka tidak lagi peduli kepada tetangga, tidak peduli orang lain menjadi korban, dan sama sekali tidak ada ada empati terhadap kelompok yang berbeda.

Kepedulian dan empati hanya menjadi milik kelompoknya bahkan milik dirinya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang menghargai hak-hak orang lain yang berbeda, jika sejak awal mereka telah dibatasi oleh syawasangka dan dendam-kesumat?

Berempati adalah kesediaan membayangkan orang lain menjadi bagian dari diri kita, menjadi bagian dari orang-orang yang kita sayangi. Seseorang yang tidak mau dan tidak mampu berempati kepada orang lain, maka di benaknya umumnya adalah sikap permusuhan, kebencian dan jarak yang makin lebar.

Masyarakat yang personal adalah masyarakat yang diikat oleh rasa persatuan dan kesatuan. Hubungan yang terbangun di antara warga, niscaya bukan hubungan yang kering, hambar, apalagi penuh kebencian.

Dalam masyarakat yang dibangun atas dasar solidaritas dan kepekaan sosial, maka kontak-kontak yang berkembang akan selalu diwarnai oleh rasa persaudaraan, empati, dan kohesi sosial.

Masyarakat yang impersonal adalah masyarakat yang cenderung terkotak-kotak, ekslusif, dan menarik batas yang tegas antara kami dan kamu, antara aku dan dia, antara kawan dan lawan.

Masyarakat yang terkotak-kotak, niscaya akan rawan tercerai-berai dan konflik yang laten kemungkinan sangat mudah tersulut menjadi konflik yang manifest.

Ketika ikatan yang mempersatukan mudah sekali diurai dan segregasi sosial yang tumbuh cenderung mengalienasikan satu dengan yang lain, maka komunikasi di antara sesama tidak akan pernah terbangun.

Juggernaut

Menumbuhkan kembali rasa solidaritas dan kepedulian terhadap sesama bukan berarti meminta masyarakat harus kembali ke masa lalu, semacam romantisme terhadap kehidupan tradisional yang serba guyup dan ayem.

Memasuki era postmodern seperti sekarang ini, bisa dipastikan mayarakat yang tumbuh adalah masyarakat postmodern yang tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu.

Di era postmodern, orang tidak lagi membutuhkan tetangga bahkan tidak pula membutuhkan sauadara, sebab melalui ruang-ruang virtual mereka akan dapat saling menyapa siapapun orang dari berbagai benua, melalui komunitas cyberspace.

Kontak-kontak personal dan hubungan sosial tatap muka bisa dipastikan akan makin berkurang. Pada titik ini, masyarakat yang tumbuh kemungkinan adalah masyarakat yang makin tidak peduli kepada sesamanya.

Masyarakat yang makin acuh tak acuh terhadap lingkungan sosialnya, bisa dipastikan akan kehilangan rasa hormat dan sikap toleran yang dibutuhkan.

Masyarakat yang lebih senang berdandan dan tampil serba wah tanpa peduli bagaimana penderitaan orang-orang miskin di sekitarnya, mereka umumnya adalah warga masyarakat yang lebih memperhatikan penampilan daripada isi.

Apakah perubahan dan perkembangan zaman memang selalu mematikan roh dan membuat relasi sosial berkembang makin soliter dan hambar?

Dalam pandangan masyarakat yang psimistik, perubahan selalu dibayangkan seperti mesin-mesin raksasa atau yang disebut Ritzer (2010) sebagai juggernaut modernitas, yakni mesin raksasa yang akan menghancurkan kehidupan dan peradaban.

Tetapi, bagi kita yang optimistik, perubahan sesungguhnya adalah sebuah peluang baru, sebuah harapan baru bagi manusia di masa depan.

Saat ini kita tentu harus bersikap optimistik dan ,tidak menutup mata bahwa di balik ancaman memudarkan hasrat untuk berjuang, sesungguhnya masih banyak warga masyarakat lain yang memiliki kepedulian terhadap sesamanya.

Setiap muncul momentum untuk berbagi, selalu saja muncul orang-orang yang peduli dan bersedia mengulurkan tangan untuk menolong warga lain yang ditimpa musibah.

Memasuki tahun politik, sudah menjadi tanggungjawab kita bersama untuk selalu mendoakan, dan bersedia menyelamatkan semua orang tanpa pandang bulu serta syakwasangka. (Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

Nasional
Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Nasional
Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Nasional
Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Nasional
Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Nasional
Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Nasional
Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Nasional
Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Nasional
Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Nasional
Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Nasional
Penetapan Prabowo-Gibran Besok, KPU Undang Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud

Penetapan Prabowo-Gibran Besok, KPU Undang Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud

Nasional
Amanat Majelis Syura Gulirkan Hak Angket di DPR, Presiden PKS Sebut Lihat Realitanya

Amanat Majelis Syura Gulirkan Hak Angket di DPR, Presiden PKS Sebut Lihat Realitanya

Nasional
Zulhas Sebut Tak Ada Tim Transisi, Prabowo Mulai Kerja sebagai Presiden Terpilih

Zulhas Sebut Tak Ada Tim Transisi, Prabowo Mulai Kerja sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Menyoal Tindak Lanjut Pelanggaran Pemilu yang Formalistik ala Bawaslu

Menyoal Tindak Lanjut Pelanggaran Pemilu yang Formalistik ala Bawaslu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com