Masyarakat yang impersonal adalah masyarakat yang warganya satu dengan yang lain tidak memiliki ikatan dan fondasi solidaritas yang kuat. Mereka mungkin saja tinggal di wilayah yang sama, bahkan mungkin bertetangga.
Tetapi, hanya karena dipicu isu yang sepele, sekadar bersenggolan badan, terserempet mobil, atau kerena memakai atribut yang berbeda, tiba-tiba saja mereka menjadi musuh yang saling berhadapan.
Fakta bahwa mereka bertetangga sama sekali tidak bermakna. Perbedaan ideologi yang mengenal, atau perbedaan warna kulit yang menjadi dosa warisan penjajah kolonial, sering menyebabkan bangsa ini tersegregasi, bahkan terpolarisasi dalam perbedaan yang makin meruncing.
Masyarakat yang impersonal berbeda dengan masyarakat yang personal. Di masyarakat yang impersonal, relasi sosial yang terbangun biasanya mulai memudar. Mereka tidak lagi peduli kepada tetangga, tidak peduli orang lain menjadi korban, dan sama sekali tidak ada ada empati terhadap kelompok yang berbeda.
Kepedulian dan empati hanya menjadi milik kelompoknya bahkan milik dirinya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang menghargai hak-hak orang lain yang berbeda, jika sejak awal mereka telah dibatasi oleh syawasangka dan dendam-kesumat?
Berempati adalah kesediaan membayangkan orang lain menjadi bagian dari diri kita, menjadi bagian dari orang-orang yang kita sayangi. Seseorang yang tidak mau dan tidak mampu berempati kepada orang lain, maka di benaknya umumnya adalah sikap permusuhan, kebencian dan jarak yang makin lebar.
Masyarakat yang personal adalah masyarakat yang diikat oleh rasa persatuan dan kesatuan. Hubungan yang terbangun di antara warga, niscaya bukan hubungan yang kering, hambar, apalagi penuh kebencian.
Dalam masyarakat yang dibangun atas dasar solidaritas dan kepekaan sosial, maka kontak-kontak yang berkembang akan selalu diwarnai oleh rasa persaudaraan, empati, dan kohesi sosial.
Masyarakat yang impersonal adalah masyarakat yang cenderung terkotak-kotak, ekslusif, dan menarik batas yang tegas antara kami dan kamu, antara aku dan dia, antara kawan dan lawan.
Masyarakat yang terkotak-kotak, niscaya akan rawan tercerai-berai dan konflik yang laten kemungkinan sangat mudah tersulut menjadi konflik yang manifest.
Ketika ikatan yang mempersatukan mudah sekali diurai dan segregasi sosial yang tumbuh cenderung mengalienasikan satu dengan yang lain, maka komunikasi di antara sesama tidak akan pernah terbangun.
Menumbuhkan kembali rasa solidaritas dan kepedulian terhadap sesama bukan berarti meminta masyarakat harus kembali ke masa lalu, semacam romantisme terhadap kehidupan tradisional yang serba guyup dan ayem.
Memasuki era postmodern seperti sekarang ini, bisa dipastikan mayarakat yang tumbuh adalah masyarakat postmodern yang tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu.
Di era postmodern, orang tidak lagi membutuhkan tetangga bahkan tidak pula membutuhkan sauadara, sebab melalui ruang-ruang virtual mereka akan dapat saling menyapa siapapun orang dari berbagai benua, melalui komunitas cyberspace.
Kontak-kontak personal dan hubungan sosial tatap muka bisa dipastikan akan makin berkurang. Pada titik ini, masyarakat yang tumbuh kemungkinan adalah masyarakat yang makin tidak peduli kepada sesamanya.