Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/01/2019, 23:59 WIB
Penulis Devina Halim
|

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyerahkan hasil penyelidikan terkait peristiwa pembunuhan berkedok dukun santet yang terjadi di Jawa Timur pada tahun 1998-1999, kepada Kejaksaan Agung (Kejagung).

Hal itu disampaikan Ketua Tim Penyelidikan kasus tersebut, Beka Ulung Hapsara, saat konferensi pers di Media Center Komnas HAM, Gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (15/1/2019).

"Pada 14 November 2018 kami dari Komnas HAM secara resmi menyerahkan laporan ke Jaksa Agung ke penyidik," ungkap Beka.

Penyelidikan kasus yang terjadi di Banyuwangi, Jember, dan Malang tersebut telah dilakukan sejak tahun 2015.

Baca juga: Ke Banyuwangi, Komnas HAM Cari Rekam Medis Korban Dukun Santet

Kemudian, ketika terjadi pergantian pimpinan di tahun 2017, penyelidikan dilanjutkan oleh tim yang diketuai oleh Beka, yang juga merupakan Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022.

Peristiwa yang terjadi 20 tahun lalu itu telah menimbulkan ratusan korban. Berdasarkan data yang ditunjukan Komnas HAM, terdapat sebanyak 194 korban jiwa di Banyuwangi, 108 korban di Jember, dan 7 orang di Malang.

Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menjabarkan penemuan mereka terkait pola kejadian, yang dimulai dengan unsur pra-kejadian.

Beka menyebutkan, sebelum kejadian, berkembang isu tentang etnis China dan isu tentara yang berada di daerah tersebut.

Ada radiogram bupati soal daftar dukun santet

Selain itu, mereka juga menemukan adanya radiogram dari Bupati Banyuwangi kala itu terkait daftar orang yang diduga sebagai dukun santet.

"Kedua, ada radiogram Bupati Banyuwangi pada waktu itu Turyono Purnomo Sidik. Kemudian mengirimkan radiogram soal pendataan orang yang diduga dukun santet. Dikirimkan ke masing-masing kecamatan di Banyuwangi," terangnya.

Unsur kedua adalah massa dengan modus yang sama yaitu mematikan listrik, menggunakan tali, disertai dengan komandan yang menggerakkan massa.

Berikutnya, muncul orang asing di daerah itu. Mereka diidentifikasi bukan sebagai orang lokal karena tidak menggunakan bahasa daerah.

Beka menuturkan, pihaknya juga menemukan tanda-tanda di rumah milik target sebagai pola berikutnya.

Beka menjelaskan, penggunaan tanda tersebut juga menjadi awal isu ini mengalami eskalasi. Setelah dukun santet, isunya mulai merambah ke kemunculan ninja dan orang gila.

Pada pihak aparat, Komnas HAM juga menemukan adanya pembiaran karena lambatnya tindakan aparat padahal memiliki informasi terkait situasi di lapangan.

Baca juga: Dituding sebagai Dukun Santet, Sirat Dibunuh Ramai-ramai

Dugaan pelanggaran HAM berat

Atas temuan tersebut, Komnas HAM menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menduga kasus tersebut sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.

Bukti permulaan tersebut yaitu terdapat dua tindakan kejahatan, yaitu pembunuhan dan penganiayaan.

"Kesimpulan kami kemudian ada bukti permulaan yang cukup (terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan). Misalnya terkait dengan pembunuhan Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf a UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Beka.

Oleh karena itu, Wakil Ketua Tim Penyelidikan kasus tersebut, Mohammad Choirul Anam, berharap laporan dapat ditindaklanjuti oleh Kejagung.

Menurut Choirul, kasus tersebut kalau dilihat secara historis, waktu kejadian lebih dekat dan lebih mudah untuk ditangani oleh Kejagung.

"Kami berharap ini bisa ditindaklanjuti dengan baik oleh Jaksa Agung. Jadi jangan mencontoh pengalaman-pengalaman buruk di dokumen-dokumen penyidikan sebelum-sebelumnya, ini harus ditindaklanjuti," terang Choirul pada kesempatan yang sama.

Lebih jauh, dengan adanya proses hukum diharapkan kejadian serupa tidak kembali terulang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Sengkarut Masalah TPPO, 1.900 Jenazah WNI Dipulangkan dalam 3 Tahun hingga Ada 'Backing'

Sengkarut Masalah TPPO, 1.900 Jenazah WNI Dipulangkan dalam 3 Tahun hingga Ada "Backing"

Nasional
Jawaban MK Usai Dituding Bakal Putuskan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup...

Jawaban MK Usai Dituding Bakal Putuskan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup...

Nasional
Sikap 'Cawe-cawe' Disebut Bisa Runtuhkan Kenegarawanan Jokowi ke Depan

Sikap "Cawe-cawe" Disebut Bisa Runtuhkan Kenegarawanan Jokowi ke Depan

Nasional
Zulhas dan Elite PAN Bertemu Megawati di DPP PDI-P Siang Ini, Bahas Kerja Sama Pemilu 2024?

Zulhas dan Elite PAN Bertemu Megawati di DPP PDI-P Siang Ini, Bahas Kerja Sama Pemilu 2024?

Nasional
Ganjar Sebut 'Cawe-cawe' Jokowi Bukan Intervensi Politik Keseluruhan

Ganjar Sebut "Cawe-cawe" Jokowi Bukan Intervensi Politik Keseluruhan

Nasional
Ganjar Santai Elektabilitas Disalip Prabowo di Survei Litbang 'Kompas': Sebentar Akan Menang Lagi

Ganjar Santai Elektabilitas Disalip Prabowo di Survei Litbang "Kompas": Sebentar Akan Menang Lagi

Nasional
Menkumham: Pemerintah Masih Tunggu Undangan DPR Terkait RUU Perampasan Aset

Menkumham: Pemerintah Masih Tunggu Undangan DPR Terkait RUU Perampasan Aset

Nasional
Ungkap Cara Sindikat TPPO Menjerat Korban, Migrant Care: Dilihat yang Terdesak Ekonomi

Ungkap Cara Sindikat TPPO Menjerat Korban, Migrant Care: Dilihat yang Terdesak Ekonomi

Nasional
Ganjar Minta Relawan Tak Lakukan 'Bullying' dan Gunakan Isu SARA

Ganjar Minta Relawan Tak Lakukan "Bullying" dan Gunakan Isu SARA

Nasional
MK Diminta Pertimbangkan Putusan Sistem Pemilu Tak Berlaku untuk Pemilu 2024

MK Diminta Pertimbangkan Putusan Sistem Pemilu Tak Berlaku untuk Pemilu 2024

Nasional
Mahfud Harap Anies Dapat Tiket Pilpres, Jangan Sampai Dijegal Koalisinya Sendiri

Mahfud Harap Anies Dapat Tiket Pilpres, Jangan Sampai Dijegal Koalisinya Sendiri

Nasional
Pancasila Rumah (Anak) Kita

Pancasila Rumah (Anak) Kita

Nasional
Ganjar soal Relawan Jokowi Pecah: Saya Sangat Yakin Sebagian Besar ke Sini, Sebagian Kecil ke Sana

Ganjar soal Relawan Jokowi Pecah: Saya Sangat Yakin Sebagian Besar ke Sini, Sebagian Kecil ke Sana

Nasional
Eks Hakim Konstitusi: Konstitusionalitas Sistem Pemilu Bukan Wilayah MK

Eks Hakim Konstitusi: Konstitusionalitas Sistem Pemilu Bukan Wilayah MK

Nasional
Mahfud Bantah Ada Upaya Pemerintah Jegal Anies Maju Capres

Mahfud Bantah Ada Upaya Pemerintah Jegal Anies Maju Capres

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com