DEMOKRASI Indonesia dalam ujian. Sejak tiga tahun terakhir, suka ataupun tidak, praktik berdemokrasi kita disibukkan dengan geliat politik identitas agama, khususnya identitas Islam.
Tensi politik identitas Islam ini kembali menyeruak ke publik sejak Basuki Tjahaja Purnama keseleo lidah soal surat Al-Maidah 51. Hal itu ditandai dengan munculnya aksi massa 411 dan 212 yang sangat fenomenal karena melibatkan massa yang besar.
Aksi ini tak pelak lagi menggunakan identitas agama (Islam) untuk meraih dukungan dan simpati publik. Hasilnya dapat dikatakan sangat mujarab dengan melihat antusiasme peserta yang hadir serta liputan media daring maupun konvensional.
Identitas yang melekat pada diri seseorang pada hakikatnya tidak ada yang dapat meminta, khususnya identitas yang terkait dengan ras, bahasa, maupun etnis tertentu.
Adapun identitas agama, ia lebih cair karena seseorang dapat menentukan sendiri pilihan keyakinan maupun agamanya setelah ia tumbuh dewasa.
Namun demikian, pada ranah etnis ia pun sesungguhnya tidak sekaku yang dibayangkan oleh public common sense.
Pada saat seseorang mengaku Jawa misalnya, maka pertanyaan lanjutannya adalah Jawa yang mana? Karena entitas Jawa itu sendiri sangat luas.
Jawa bagi orang Jakarta, seringkali hanya dipahami sebatas Jawa Tengah (Yogyakarta di dalamnya) dan Jawa Timur. Sementara Sunda, yang secara geografis berada di Pulau Jawa tidak dipahami sebagai Jawa,
Jawa sendiri, di dalamnya akan terbagi ke beberapa lagi, di mana terdapat Jawa keraton Jogja, Jawa Kasunanan Surakarta, Jawa Purworejo berikut area Kedu, Jawa Banyumasan, Jawa Pantura, misalnya.
Sekurang-kurangnya minimal terdapat lima varian ke-Jawa-an. Kesemuanya memiliki karakter khas sesuai dengan geografisnya masing-masing. Tidak ada yang sama persis, sekadar persinggungan di beberapa hal.
Lantas siapa yang sesungguhnya dapat mengklaim sebagai “asli” Jawa?
Berangkat dari sini, maka tidak ada yang asli dan tidak asli, karena tergantung dari mana perspektif kita. Oleh karenanya identitas itu menjadi sangat fluid. Ia sangat cair.
Ke-Jawa-an, ke-Sunda-an, ke-Batak-an, ke-Makassar-an, ke-Bugis-an, ke-Madura-an dan lain-lain, dan begitu banyaknya suku di negeri ini jika tidak hati-hati maka kita akan terjebak pada esensialisme.
Kaum esensialis menganggap bahwa identitas merupakan sesuatu yang given adanya, tetap, ajeg, tidak berubah sama sekali.
Identitas kesukuan, keagamaan seseorang misalnya, terbentuk karena pertemuan budaya yang dialami oleh orang tersebut. Sehingga ia menjadi sangat fluid, dapat tumbuh berkembang, tidak berada pada oposisi biner, yang saling berhadap-hadapan.
Dari sini dapat dipahami bahwa ke-Jawaan, ke-Sundaan, ke-Batakan, ke-Bugisan, ke-Maduraan itu tidak tunggal, tidak ada yang monolitik.
Monolitik itu hanya ada di dalam ruang politik otoritarianistik, diktator, sebagaimana dipraktikkan oleh Rezim Orde Baru di bawah kendali Sang Otoriter Soeharto, selama 32 tahun menguasai Indonesia.
Kekuasaan itu bukan tumbuh oleh dirinya sendiri, namun ia didukung dan dikukuhkan oleh kroni dan para pembantu yang mau saja dicokok hidungnya laksana sapi perahan.
Otoritarianisme melahirkan mental-mental ABS, asal bapak senang. Demi menyenangkan atasan, para bawahan tak jarang memanipulasi data.
Jadi, sesungguhnya genealogi hoaks di negeri ini bukan muncul tanpa sebab. Ia sudah menubuh di sebagian elit politik di negeri, dan para birokrat bermental jongos yang hanya mengabdi pada kekuasaan dan gelimang harta di atas keringat dan darah bahkan nyawa rakyatnya yang ditindas.
Hari ini kita disuguhi bentuk nyata dari politik praktis yang menyajikan hoaks kepada publik.
Perseteruan dua kubu antara Jokowi versus Prabowo lima tahun silam tahun ini berulang, hanya wakil mereka berdua saja yang berganti. “Pergantian pemain” juga terjadi di sebagian elit politik yang menyeberang dari kubu Prabowo ke Jokowi maupun sebaliknya.
Memanasnya kontestasi politik menjelang Pilpres ini juga kembali ditandai dengan maraknya hoaks. Kasus mutakhir yakni hoaks surat suara tujuh ton yang sudah dicoblos. Polisi sudah menangkap penyebarnya, Bagus Bawana. Ia memproduksi hoaks demi unggulnya identitas diri dengan menindas identitas orang dan kelompok lain.
Sebagai bangsa yang sudah dua periode mempraktikkan demokrasi, kita perlu bersyukur karena kita telah melewati masa-masa peralihan kekuasaan dengan relatif damai.
Politik identitas yang kini menyeruak adalah sebuah tantangan. Sebagai sebuah artikulasi politik, demokrasi memberi ruang.
Sepanjang dilakukan dalam kerangka demokrasi dan tidak menggunakan kekerasan, apapun bentuknya, ia sah-sah saja dilakukan. Hanya jangan sampai merasa paling benar sendiri dan mengintimidasi kelompok-kelompok lain yang berbeda.
Demokasi adalah ruang bebas bagi siapa saja dan kelompok manapun sebagai artikulasinya, sepanjang ia mengedepankan konsensus bersama dan mengamini nilai-nilai demokrasi.
Adalah pluralisme, multikulturalisme, adil gender, nir-kekerasan, HAM, itulah di antaranya nilai-nilai demokrasi yang mesti kita taati dan jalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian pula bagi yang merasa lebih nyaman dengan identitas agama, suku, ras, gender yang hendak diperjuangkan. Demokrasi memberi ruang untuk hal-hal tersebut dimunculkan ke ruang publik, sepanjang kembali pada nilai-nilai dasar di dalamnya.
Demokrasi itu bukan masalah menang dan kalah, apalagi dalam politik elektoral yang hanya sekali dalam lima tahun. Terlalu mahal rasanya jika sebagai anak bangsa saling "berkelahi" dan berseteru hanya demi identitas diri dengan mengorbankan identitas orang lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.