JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) merasa kecewa dengan keputusan pemerintah yang mencabut layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi korban tindak pidana.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam regulasi tersebut disebutkan layanan BPJS tidak berlaku bagi korban penganiayaan, kekerasan seksual, terorisme, dan perdagangan orang.
"Melihat permasalahan ini, maka langkah pemerintah yang mengatur bahwa layanan korban tindak pidana tidak dijamin BPJS patut disayangkan," kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju, melalui siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (7/1/2019).
Baca juga: Jokowi Teken PP 43/2017, Anak Korban Tindak Pidana Bisa Ajukan Ganti Rugi
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak sejalan dengan komitmen perlindungan dan bantuan bagi korban kejahatan.
Anggara menjelaskan, layanan kesehatan bagi korban tindak pidana belum sempurna. Oleh karenanya, masih banyak korban kejahatan yang bergantung pada BPJS Kesehatan.
"Kendati sudah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tentang jaminan layanan kesehatan medis, pada kenyataannya perlindungan saksi dan korban untuk pelayanan medis saat ini masih membutuhkan BPJS," terangnya.
Baca juga: Ini Daftar RS yang Kontraknya Bakal Diperpanjang oleh BPJS Kesehatan
Berdasarkan data yang dimiliki ICJR, sebanyak 490 dari 1.069 orang yang dilindungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggunakan layanan medis dari BPJS.
Selain itu, korban kekerasan fisik dan seksual kerap ditagih biaya visum. Ia mengatakan, tak semua daerah memberikan layanan visum gratis bagi korban kekerasan.
Kemudian, ia menambahkan tak adanya perwakilan LPSK di daerah-daerah membuat jaminan layanan kesehatan bagi korban semakin dipertanyakan.
Baca juga: BPJS Kesehatan Bantah Defisit Jadi Alasan Pemutusan Kontrak dengan Rumah Sakit
Oleh karena itu, ICJR mendorong adanya peraturan terkait pemenuhan hak bagi para korban yang dibuat secara mendetil.
"Skema bantuan medis bagi korban bisa tidak dijamin oleh BPJS asalkan pemerintah menyediakan payung hukum serta sistem yang berkelanjutan untuk pemenuhan hak korban," terang Anggara.
"Dimulai dari penyusunan dan pembentukan Perpres tentang penangnan korban kejahatan yang lebih teknis dan menyeluruh," lanjutnya.
Baca juga: Ini Alasan BPJS Kesehatan Putus Kerja Sama 11 Klinik dan Satu RS di Karawang
Tak hanya itu, ICJR juga ingin agar pemerintah pusat dan daerah menyediakan layanan yang tidak membebani korban. Lanjut Anggara, evaluasi terhadap penyediaan layanan tersebut juga perlu dibuat.
ICJR mencatat, terdapat beberapa tambahan layanan yang tidak dijamin oleh BPJS dalam Pasal 52 ayat (1) Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tersebut.
Hal itu terdiri dari pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dalam rangka bakti sosial serta pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berikutnya, pelayanan kesehatan tertentu yang berkaitan dengan Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta pelayanan yang sudah ditanggung dalam program lain, tidak dijamin oleh BPJS.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.